Mars Jadi Planet Gurun dalam 100 Juta Tahun Terakhir, Belum Layak Huni?

ADVERTISEMENT

Mars Jadi Planet Gurun dalam 100 Juta Tahun Terakhir, Belum Layak Huni?

Devita Savitri - detikEdu
Minggu, 07 Sep 2025 20:00 WIB
Penampakan lebih dekat Planet Mars
Penampakan Planet Mars. Foto: NASA
Jakarta -

Meski dekat dengan Bumi, Mars masih menjadi planet yang belum terpecahkan dengan ilmu planet modern. Mars diketahui memiliki ngarai yang dibentuk oleh sungai, sehingga dahulu hawanya cukup hangat untuk menampung air cair.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun dalam penampakan terbaru, Mars menjadi gurun tandus. Kondisi ini ternyata sudah bertahan selama 100 juta tahun terakhir. Kenapa hal ini bisa terjadi?

ADVERTISEMENT

Ilmuwan planet The University of Chicago, Edwin Kite mencoba untuk menjelaskannya melalui studi yang terbit pada 2 Juli 2025 lalu di jurnal Nature. Studi ini didasarkan pada data misi Curiosity milik Laboratorium Sains Mars milik NASA yang diumumkan pada April 2025 lalu.

Data tersebut menyatakan temukan penting yakni sebuah batuan yang kaya akan mineral karbonat. Batuan ini menjadi bukti penting yang bisa menjawab ke mana hilangnya atmosfer Mars.

"Selama bertahun-tahun, kami memiliki pertanyaan besar yang belum terjawab tentang mengapa Bumi berhasil mempertahankan (status) kelayakhuniannya, sementara Mars kehilangannya," ungkap Kite, dikutip dari UChicago.

Mars Planet Gurun

Pada dasarnya, Mars memiliki komposisi yang hampir sama dengan Bumi. Planet ini berbatu, kaya karbon dan air, dan cukup dekat dengan Matahari sehingga seharusnya hangat.

Namun, ada satu hal spesial yang ditemukan di Mars. Kite menyebut, planet merah itu mengatur dirinya sendiri sebagai planet gurun.

"Kini Mars hanyalah guru beku, sementara Bumi penuh dengan kehidupan," ujarnya.

Melalui data yang diterimanya, Kite menemukan banyak lembah yang terbentuk akibat sungai dan dasar danau purba di permukaan Mars. Hal ini menunjukkan bahwa planet tersebut akan atau sudah memiliki iklim yang cukup hangat untuk menampung cairan.

"Untungnya, Mars menyimpan jejak bencana lingkungan itu di bebatuan permukaannya," kata Kite.

Seiring dengan semakin canggihnya teknologi, Kite menyebut kini manusia berada di zaman keemasan sains Mars. Berbagai teknologi memungkinkan manusia menjelajahi Mars secara mendalam.

Jika ingin membuat Mars sejuk dan nyaman untuk dihuni, Kite menilai perlu ada mekanisme untuk menjaga stabilitas suhunya dari waktu ke waktu. Mekanisme ini dimiliki Bumi, yakni sebuah sistem yang sangat seimbang untuk memindahkan karbon dari langit ke batu dan kembali lagi.

Karbon dioksida di atmosfer Bumi mampu membuat planet tempat tinggal kita menjadi hangat. Tetapi, suhu yang lebih hangat justru menimbulkan reaksi lain, yakni mengunci karbon dioksida di dalam batu.

Keadaan ini pada akhirnya menangkal kenaikan suhu dan membuat karbon bocor kembali ke atmosfer melalui letusan gunung berapi. Selama jutaan tahun, siklus ini menjadi penjaga suhu Bumi relatif stabil dan ramah bagi kehidupan.

Di Mars, siklus serupa tidak terjadi. Kecerahan Matahari yang meningkat sangat lambat juga menjadi faktor tambahan mengapa Mars tidak memiliki cairan.

Para ilmuwan berhipotesis bahwa seiring Matahari semakin terang, air akan mulai mengalir di Mars. Namun, sementara air menyebabkan karbon dioksida terkunci di bebatuan, Mars tidak memiliki gunung berapi.

"Berbeda dengan Bumi yang selalu memiliki beberapa gunung berapi yang meletus, Mars saat ini sedang tidak aktif secara vulkanik dan laju rata-rata pelepasan gas vulkanik di Mars lambat," paparnya.

"Jadi, dalam situasi tersebut, tidak ada keseimbangan antara karbon dioksida yang masuk dan karbon dioksida yang keluar, karena jika ada sedikit saja air cair, karbon dioksida akan diserap melalui pembentukan karbonat," sambung Kite.

Kite dan timnya membangun model ekstensif yang menunjukkan bagaimana fluktuasi di Mars bisa terjadi. Studi itu menunjukkan Mars mengalami periode singkat keberadaan air cair, diikuti oleh periode gurun selama 100 juta tahun.

Kesenjangan kelayakhunian selama 100 juta tahun akan berdampak buruk bagi kehidupan.

Teka-teki di Mars

Seperti yang disebutkan di awal, wahana penjelajah Curiousity menunjukkan ada batuan kaya karbonat di permukaan Mars. Para ilmuwan menjelaskan bahwa penemuan ini telah menjadi bagian yang hilang dari teka-teki Mars selama bertahun-tahun.

Agar layak huni dan memiliki air cair, Mars harus punya atmosfer yang lebih tebal dari gas rumah kaca seperti karbon dioksida. Namun, saat ini atmosfernya sangat sedikit. Ke mana karbonat ini menghilang?

Penjelasan paling sederhana adalah karbonat terhisap ke dalam bebatuan, seperti yang terjadi di Bumi. Perjalanan wahana Curiosity di gunung Mars bernama Gunung Sharp, akhirnya menemukan batuan karbonat.

Namun, perlu pengujian lebih lanjut untuk menentukan apakah karbonat tersebut tersebar luas seperti yang diduga para peneliti. Namun, untuk hasil yang lebih pasti, Profesor Universitas Calgary dan rekan penulis studi, Benjamin Tutolo menyatakan perlu penjelajahan langsung di Mars.

"Pengukuran kimia dan mineralogi yang mereka berikan sangat penting dalam upaya berkelanjutan kita untuk memahami bagaimana dan mengapa planet tetap layak huni, untuk mencari dunia lain yang ramah di alam semesta," tandas Tutolo.

Studi ini terbit di jurnal Nature dengan judul "Carbonate formation and fluctuating habitability on Mars", 2 Juli 2025.




(twu/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads