Tes DNA saat ini sudah dikenal masyarakat untuk kepentingan penelitian hingga memastikan garis keturunan seseorang. Sejak kapan tes DNA lazim di dunia kesehatan?
Sebelum mengetahui asal-usul tes DNA, penting untuk memahami apa itu tes DNA. Istilah DNA berasal dari deoxyribonucleic acid atau asam deoksiribonukleat.
Mengutip sebuah publikasi di journal,uns.ac.id yang ditulis Herratri Wikan Nur Agusti, tes DNA dapat mengidentifikasi warna mata, warna kulit, warna rambut dan lainnya. Tes DNA bisa dilakukan untuk kepentingan hak waris dan legalitas anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tes DNA juga penting dalam memastikan perlindungan terutama kaitannya dengan kejahatan berantai dengan bantuan metode penyelidikan lain yang menunjang. Sehingga hasil tes DNA dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat tentang identitas seseorang.
Sejarah Penemuan Tes DNA
Penemuan tes DNA bermula dari pengujian identitas di bidang forensik lewat analisis sistem golongan darah ABO. Lalu, identifikasi identitas biologis ayah mulai dikembangkan.
Pengembangan didasarkan pada variasi protein serum dan enzim sel darah merah. Kemudian digunakan juga sistem antigen leukosit manusia (HLA).
Setelah itu, Profesor Sir Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, Inggris mulai menggunakan DNA sebagai pengujian identitas, demikian dikutip dari publikasi ilmiah bertajuk Discovery, development, and current applications of DNA identity testing oleh Rana Saad (2005).
Jeffreys tertarik meneliti variasi genetik antar individu dan melakukan riset awal untuk mendeteksi perbedaan genetik pada manusia. Menariknya, jawabannya tidak ditemukan dalam proyek awal yang ia tekuni, melainkan dalam proyek berbeda.
Penemuan bermula ketika Jeffreys dan timnya meneliti gen myoglobin dalam daging anjing laut di markas British Antarctic Survey. Saat itu, mereka membandingkan gen tersebut pada anjing laut dan manusia.
Hasilnya menunjukkan bahwa ada bagian-bagian kecil dari DNA yang berulang dan mirip antara keduanya. Ketika bagian ini dibandingkan dengan data yang sudah ada sebelumnya tentang pola DNA berulang yang disebut minisatellite, ternyata urutannya sama.
Dari sini, Jeffreys menyimpulkan bahwa pola DNA berulang ini bisa sangat bervariasi pada setiap orang. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar untuk membuat sidik jari DNA manusia. Sidik jari sendiri adalah pola DNA unik yang dimiliki oleh setiap individu.
Jeffreys juga membandingkannya dengan DNA sapi, babon, tikus dan tanaman bakau, ternyata polanya berbeda. Pada manusia, seorang anak mewarisi alel (bentuk gen) dari kedua orang tuanya.
Pada 1985, Jeffreys dan timnya menerbitkan artikel pertama tentang DNA fingerprinting dan menyadari potensinya untuk forensik dan identifikasi ayah biologis. Berita ini cepat menyebar, hingga seorang pengacara melihat potensi teknik ini dalam salah satu kasusnya.
Kasus Pertama yang Terpecahkan Lewat Tes DNA
DNA sebagai alat pemecah masalah pertama kali dilakukan pada kasus sengketa imigrasi di Inggris. Kala itu, ada sebuah keluarga dari Ghana yang telah menjadi warga negara Inggris.
Namun, statusnya masih dipermasalahkan karena salah satu anak ditolak masuk karena kembali ke Inggris menggunakan paspor palsu. Sang pengacara keluarga menghubungi Jeffreys untuk memastikan apakah anak laki-laki tersebut benar anak kandung keluarga tersebut, bukan keponakan.
Sang ibu tersebut memang diketahui juga punya banyak keponakan di Ghana. Sehingga ia dicurigai menyelundupkan keponakannya.
DNA pun diambil dari sang ibu dan tiga anak lain. Hasil tes DNA oleh Jeffreys membuktikan bahwa anak tersebut adalah anak kandung dari sang ibu.
Bahkan tes ini juga menunjukkan bahwa keempat anak memiliki ayah yang sama. Sejak kasus tersebut, Jeffreys menerima permohonan bantuan dari pihak kepolisian atas kasus pemerkosaan seorang gadis.
Lewat tes DNA Jeffreys, sperma yang ada dalam kandungan korban memang benar milik si pelaku. Keberhasilan ini membuka jalan bagi penggunaan DNA fingerprinting dalam identifikasi dan kasus forensik.
(cyu/nah)