Cerita dengan chatbot AI tengah menjadi alternatif populer untuk terapi. Namun, para ahli memperingatkan bahwa chatbot AI dapat memperburuk krisis kesehatan mental.
Dalam tren ini, chatbot AI telah dianggap sebagai 'pihak' yang paling memahami orang-orang ketika menceritakan perasaan atau banyak hal lain. Kondisi ini membuat banyak orang akhirnya bergantung untuk mencurahkan perasaannya kepada chatbot AI.
Para ahli menyebut, kondisi ini berbahaya karena orang yang bergantung pada chatbot AI akan semakin terjerumus. Mereka tidak lagi menyadari bahwa chatbot AI adalah robot.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chatbot AI Disebut sebagai 'Penjilat'
Pakar mengatakan, chatbot AI merupakan sistem yang dirancang untuk bersikap patuh dan 'menjilat'. Dalam kata lain, chatbot AI dirancang untuk memuaskan jawaban orang yang memakai.
Apapun yang ceritakan orang ke chatbot AI, maka 'robot' tersebut sudah diatur akan memahaminya dan membalas dengan jawaban yang memuaskan. Sayangnya, banyak orang justru terjebak dengan 'robot' dan semakin nyaman bercerita kepada chatbot AI setiap waktu.
"Masalahnya sebenarnya adalah gagasan AI itu seperti cermin - ia memantulkan kembali apa yang Anda masukkan ke dalamnya. Artinya, AI tidak akan menawarkan perspektif alternatif. AI tidak akan menawarkan saran, strategi, atau nasihat hidup lainnya," ujar Presiden Asosiasi Psikolog Australia, Sahra O'Doherty, dilansir The Guardian.
"Yang akan dilakukannya adalah membawa Anda lebih jauh ke dalam lubang kelinci, dan itu menjadi sangat berbahaya ketika orang tersebut sudah dalam risiko dan kemudian mencari dukungan (bergantung) dari AI," imbuhnya.
Menurut O'Doherty, bagi orang-orang pemakai chatbot yang belum memahami konsep kecerdasan buatan (AI), justru dapat memperburuk emosi, pikiran, atau keyakinan apa pun yang mungkin mereka alami.
Semua orang harus memahami, lanjutnya, bahwa chatbot memang dapat menjawab semua pertanyaan tapi tidak memiliki wawasan manusiawi dalam merespons.
"Hal itu benar-benar menghilangkan sisi kemanusiaan dari psikologi," ujarnya.
Bahaya tentang chatbot AI pernah dilaporkan pada 2023. Seorang pria di Belgia mengakhiri hidupnya setelah mengalami kecemasan dan mencurahkan isi hatinya kepada chatbot AI.
Kemudian, seorang pria di Florida menyerang polisi dengan pisau usai percaya dengan entitas bernama Juliet terperangkap dalam ChatGPT. Pria itu, yang terbiasa menggunakan chatbot AI, ternyata memiliki gangguan bipolar dan skizofrenia.
Harus Bisa Membedakan yang Nyata dan Tidak
O'Doherty mengingatkan pentingnya mengajarkan keterampilan berpikir kritis sejak usia dini. Hal ini agar di era AI seperti saat ini, setiap orang bisa memisahkan fakta dari opini, serta membedakan mana yang nyata dan mana yang dihasilkan oleh AI.
Meski begitu, ia tidak bisa memungkiri bahwa akses terhadap terapi juga penting, tapi sulit dilakukan dalam krisis biaya hidup. Dalam hal ini, ia tidak mengatakan chatbot AI sepenuhnya kesalahan, tapi harus dipandang sebagai alat pendukung.
"Yang bisa dilakukan adalah menggunakan alat tersebut (chatbot AI) untuk mendukung dan menopang kemajuan dalam terapi (kesehatan mental), tetapi menggunakannya sebagai pengganti sering kali memiliki lebih banyak risiko daripada manfaatnya," papar O'Doherty.
Sementara itu, dosen filsafat di Macquarie University, Dr Raphaël Millière, mengatakan terapis manusia mahal dan AI banyak digunakan sebagai terapis atau tempat curhat dalam beberapa kasus.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa manusia nyatanya bisa terpengaruh chatbot AI yang terus-menerus memuji mereka. Berbeda dengan saat berhadapan manusia lain, yang cenderung tidak mudah terpengaruh saat ada yang "menjilat".
"Kita tidak terbiasa berinteraksi dengan manusia (penjilat) lain seperti itu, kecuali Anda mungkin seorang miliarder kaya atau politisi yang dikelilingi oleh para penjilat," ungkap Millière.
Millière mengatakan, chatbot juga dapat memiliki dampak jangka panjang pada cara orang berinteraksi satu sama lain. Ia penasaran bagaimana ke depannya, sebab chatbot tidak pernah berbeda pendapat, tidak pernah bosan, tidak pernah lelah, selalu senang mendengarkan masalah orang yang 'mendatangi'nya.
"Apa dampaknya terhadap cara kita berinteraksi dengan sesama manusia, terutama bagi generasi baru yang akan disosialisasikan dengan teknologi ini?" tuturnya.
(faz/nwk)