Belakangan ini ramai masyarakat di berbagai daerah memasang bendera anime One Piece. Fenomena di masyarakat ini memicu berbagai macam respons dari Pemerintah, seperti salah satunya disebut sebagai upaya memecah belah bangsa.
Akademisi Universitas Brawijaya (UB), Dr Muktiono, SH, MPhil memiliki penilaian tentang fenomena ini dari perspektif hukum. Ia menyebut pemasangan bendera One Piece adalah ekspresi individu atas suatu kegemaran atau kesenangan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Ia menegaskan tindakan memasang bendera One Piece bisa juga sebagai bagian dari bentuk protes, sindiran, atau respons atasi situasi tertentu. Muktiono mengatakan ini merupakan hal biasa dari warga negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya fenomena ini lumrah sejauh tidak melanggar hak orang lain, tidak mengganggu ketertiban umum, tidak mengancam keselamatan diri dan publik, tidak melanggar aturan hukum, tidak mengganggu kesehatan diri sendiri dan orang lain, dan bukan tindakan kriminal.
Bagaimana Berdasarkan Perspektif Hukum?
Dosen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) UB ini menilai Undang-Undang Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, serta Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan Indonesia tidak melarang pemasangan bendera seperti One Piece ini. Ia turut menyampaikan, konstitusi dan aturan undang-undang lain juga tidak melarang hal ini sejauh tidak ada pelecehan langsung terhadap bendera negara.
"Saya kira negara terlalu bersikap atau bertindak berlebihan, dengan melarang atau mengkriminalisasi pengibaran bendera atau pengecatan lambang One Piece jika tidak ada kebutuhan mendesak yang tidak didasarkan pada ancaman yang nyata," tuturnya melalui keterangan yang diterima pada Rabu (6/8/2025).
Muktiono mengkhawatirkan kriminalisasi terhadap hal-hal semacam ini justru akan membuang energi publik dan negara dari mengurus hal-hal yang lebih esensial.
"Seharusnya negara fokus menyelesaikan masalah esensial, seperti pemberantasan korupsi, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, mengejar ketertinggalan teknologi, penyediaan lapangan kerja dan upah layak, dan pemerataan pendidikan," pungkas Ketua Umum Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) FH UB itu.
(nah/nwk)