Badan Pusat Statistik (BPS) sempat menunda penyampaian data kemiskinan pada Selasa, 15 Juli 2025 menjadi Jumat, 25 Juli lalu. Kepala BPS menyatakan perilisan data dilakukan usai dipastikan akurat.
"Kami akan rilis Jum'at setelah kami pastikan data yang kami hitung akurat," kata Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti usai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/7/2025), dilansir detiknews.
Sejumlah pakar mempertanyakan alasan di balik penundaan perilisan data kemiskinan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 tersebut. Mereka menilai, ada kemungkinan murni soal teknis, tetapi juga ada potensi politisasi data sensitif ini jelang masa pemilihan kepala daerah (pilkada).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Butuh Keterbukaan
Pakar bidang pembangunan sosial dan kesejahteraan (PSdK) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) Nurhadi Ph D berpendapat, terlambatnya penyampaian data kemiskinan dapat dipandang dari dua sisi.
Menurutnya, di satu sisi, BPS perlu diapresiasi jika penundaan tersebut lantaran menjaga kualitas dan validitas data, serta harmonisasi standar global, sehingga tetap akurat.
"Tetapi transparansi terhadap publik harus dijaga. Kalaupun ada penundaan, harus ada komunikasi yang jelas. Metodologi, validitas, dan alasan teknis lain harus terbuka," ucapnya mengingatkan, Kamis (31/7/2025).
Risiko Penundaan Rilis Data Kemiskinan
Nurhadi menilai berbagai risiko muncul akibat penundaan rilis data kemiskinan. Berikut di antaranya.
Kekosongan Data
Penundaan rilis data kemiskinan menurutnya berdampak pada kekosongan data bagi pemerintah pusat dan daerah dalam siklus merencanakan kebijakan. Sedangkan pemerintah pusat maupun daerah sangat mengandalkan data kemiskinan untuk menyusun program perlindungan sosial.
"Ketika data ditunda, intervensi kebijakan bisa meleset karena mengacu pada data lama," terangnya.
Kepercayaan Publik Turun
Tingkat kepercayaan publik terhadap BPS sebagai institusi statistik nasional juga berisiko turun. Risiko ini dapat meningkat jika penundaan berulang dan dalam konteks politik elektoral.
"Di era literasi digital saat ini, publik semakin peka. Kalau tidak dijelaskan dengan baik, justru bisa muncul asumsi bahwa data ditahan demi kepentingan tertentu," ucapnya.
Ia mengingatkan, independensi BPS harus dijaga ketat dari intervensi politik, terlebih jelang pemilu. Nurhadi menilai data statistik bukan milik pemerintah, tetapi milik publik. Pemerintah dalam hal ini hanya dimandatkan untuk mengelola dan merilis data menggunakan dana publik.
Karena itu, keterbukaan dan keteraturan dalam merilis data menjadi bentuk pertanggungjawaban BPS kepada warga negara.
Tak Sekadar Rilis Data
Nurhadi juga menekankan, perlu pemantauan berkelanjutan bagi warga yang baru keluar dari garis kemiskinan. Langkah ini penting agar warga tidak miskin lagi. Pendekatannya juga perlu berbasis pemberdayaan ekonomi, tak sekadar bantuan.
"Rilis data bukan semata tugas teknis tahunan, tapi hak publik yang memungkinkan warga menilai kinerja negara," ucapnya.
Data Tak Mencerminkan Kelompok Miskin Sebenarnya
Data BPS sendiri menunjukkan angka kemiskinan turun. Kendati demikian, Nurhadi juga menyorot ukuran resmi garis kemiskinan di Indonesia masih terlalu rendah dan tidak merepresentasikan realitas sosial-ekonomi masyarakat.
Sedangkan dalam konteks pembangunan berbasis bukti (evidence-based), kualitas dan ketepatan waktu data menjadi elemen vital.
"Dengan standar sekitar Rp600 ribu per bulan per orang, banyak kelompok yang sebenarnya miskin secara riil tapi tidak terdata," ucapnya.
Ia menjelaskan, data BPS saat ini belum mengadopsi standar internasional seperti dari World Bank. Jika menggunakan standar internasional, angka kemiskinan Indonesia diperkirakan melonjak 2-3 kali lipat.
Nurhadi mengakui adopsi standar global harus dilakukan secara bertahap. Namun, ia menegaskan perlu ada peta jalan menuju penggunaan standar global.
Sementara ini, ia mendorong pemerintah, khususnya BPS, untuk melaksanakan penguatan komunikasi publik dan tata kelola statistik.
"Kalau belum siap secara teknis dan politis, jangan dipaksakan. Tapi harus ada roadmap menuju ke sana," sarannya.
(twu/nwk)