Jejak Awal Pendidikan Kedokteran di STOVIA, Tempat Lahir Dokter Nusantara

ADVERTISEMENT

Jejak Awal Pendidikan Kedokteran di STOVIA, Tempat Lahir Dokter Nusantara

Trisna Wulandari - detikEdu
Rabu, 25 Jun 2025 17:30 WIB
Di era Hindia Belanda, terdapat sebuah sekolah kedokteran bernama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau STOVIA.
Ilustrasi pembelajaran di STOVIA Foto: Wikimedia Commons/Leiden University Library
Jakarta -

Tokoh-tokoh perintis bidang kedokteran Indonesia di antaranya lahir dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra. Siapa sangka, cikal bakal sekolah ini berangkat dari kekurangan petugas vaksin wabah cacar?

STOVIA merupakan pengembangan dari Sekolah Dokter Djawa. Sekolah pendahulu ini menerima anak-anak Jawa untuk dididik menjadi petugas vaksin wabah cacar di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan Karesidenan Banyumas.

Mendidik warga Bumiputra dianggap lebih murah dan lebih cepat daripada mendatangkan tenaga medis dari Belanda. Mengimunisasi penduduk diharapkan menjaga hasil panen perkebunan Pemerintah Hindia Belanda agar tidak terganggu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Sekolah Dokter Djawa

Dikutip dari Buku Panduan Museum Kebangkitan Nasional, pada 1847 wabah penyakit menular tersebar di daerah Banyumas dan Purwokerto. Wabah penyakit tersebut tidak dapat ditangani oleh tenaga medis pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya terbatas, begitu juga dengan cara pengobatan tradisional.

Pada 1 Januari 1851, berdiri Onderwijs van Inlandsche Γ©lΓ©ves voor de geneeskunde en vaccine atau Pendidikan Kedokteran dan Vaksin Anak-Anak Bumiputera.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia-Belanda No. 10 tanggal 5 Juni 1853, lulusannya menyandang gelar Dokter Jawa dan bertugas sebagai petugas vaksin cacar, kolera, dan disentri. Sedangkan kampusnya disebut Dokterdjawaschool atau Sekolah Dokter Djawa.

Residen Banten, Priangan, Cirebon, Tegal, Bogor, dan Pekalongan, diminta mengirimkan dua orang pemuda usia minimal 16 tahun untuk seleksi sekolah gratis ini. Mereka diseleksi terutama berdasarkan kemampuan membaca dan menulis huruf Melayu, dan berhitung.

Pemuda yang lolos seleksi disekolahkan selama 2 tahun untuk jadi tenaga kesehatan. Namun, lulusannya dinilai tidak sesuai harapan, sampai Sekolah Dokter Djawa reorganisasi sebanyak tiga kali pada 1864, 1875, 1881.

Kemunculan STOVIA

Sekolah Dokter Djawa awalnya berlokasi di salah satu ruang RS Militer Weltevreden (kini dekat Pasar Senen dan Lapangan Banteng). Pelajarnya makin banyak, hingga akhirnya diubah menjadi sekolah tinggi kedokteran STOVIA.

STOVIA awalnya akan diresmikan pada 5 Oktober 1901, tapi ditunda karena para siswa kena beri-beri dan muncul wabah kolera di Batavia. Alhasil, STOVIA resmi pada Maret 1902.

Seleksi STOVIA diperketat dan diperluas ke luar Jawa. Lulusannya tidak lagi bergelar Dokter Djawa, tetapi Inlandsche Arts (dokter Bumiputera). Mereka dididik oleh pengajar asal Belanda yang juga menjadi dokter di RS Militer.

Ujian Dokter

Mulai 1903, STOVIA berada dalam pengawasan Direktur Pendidikan, Agama dan Kerajinan (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid). Alhasil, pendidikannya lebih modern dan sistematis.

Contohnya, ujian untuk mendapat gelar Inlandsche Arts pada 1904 meliputi sembilan mata pelajaran, yaitu penyakit dalam, ilmu bedah, kebidanan, penyakit mata, kulit dan kelamin, ilmu keperawatan, dokter kehakiman, dan farmasi.

Para pelajar wajib paham teori sebelum praktik. Mereka wajib bisa menggambar dan memahami anatomi manusia sebelum menjadi dokter.

Mereka juga harus dapat membuat dan memahami peta. Sebab, mereka akan ditugaskan ke pelosok, termasuk wilayah asalnya, untuk mengobati warga.

Pelajar STOVIA tinggal di asrama kampus yang mirip bangsal rumah sakit. Jika akan ujian, mereka akan menempati ruang tersendiri agar bisa lebih konsentrasi belajar.

Sempat Bisa Jadi Dokter Tanpa Ujian

Pada 1911, merebak wabah penyakit pes di Malang yang menelan korban jiwa. Namun, pemerintah Hindia Belanda masih kekurangan tenaga medis.

Alhasil, beberapa pelajar STOVIA diangkat menjadi dokter tanpa melalui proses ujian kelulusan.

Kelak pada 1913, gelar Inlandsche Arts (Dokter Pribumi) diganti jadi Indisch Arts (Dokter Bumiputra) agar menghilangkan kesan negatif penjajahan.

Mulai Berbayar

Pada 1913, STOVIA mulai menerima pelajar yang membayar biaya pendidikan dengan uang sendiri. Masa pendidikan dokter menjadi 7 tahun, sedangkan masa pendidikan persiapan tetap tiga tahun.

Awal Gedung FK UI Salemba

Pada 1908, Direktur STOVIA J Noordhoek Hegt menyatakan mereka kekurangan ruang praktik di gedung STOVIA Weltevreden. Ia pun meminta agar didirikan gedung baru di Salemba. Inilah yang kelak menjadi awal mula gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di sana.

Dibangun sejak 1913, gedung STOVIA di Salemba resmi menampung semua jadwal pendidikan dokter mulai 5 Juli 1920. Sedangkan asrama mahasiswa tetap di Weltevreden.

Para Pelajar STOVIA

STOVIA kelak digantikan oleh perguruan tinggi Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool). Sebelum itu, ada banyak pelajar STOVIA yang dilahirkan dari sekolah ini. Berikut beberapa di antaranya:

  • Marie Thomas: Dokter perempuan pertama nusantara dari Minahasa, Sulawesi Utara, yang aktif di bidang ginekologi, kebidanan; dan memperkenalkan kontrasepsi Intrauterine Device (IUD) untuk mengendalikan angka kelahiran.
  • Soetomo: Salah satu penggagas Boedi Oetomo, organisasi pergerakan nasional pertama yang memicu kebangkitan nasional menuju kemerdekaan.
  • Tirto Adhi Soerjo: Dikeluarkan usai memberi resep pengobatan kepada pasien miskin. Ia lalu mendirikan surat kabar Medan Prijaji yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.



(twu/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads