Berdasarkan penelitian terbaru, Guyana menjadi satu dari 186 negara yang mampu menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan semua warganya tanpa impor asing.
Penelitian tersebut berjudul "Gap between national food production and food-based dietary guidance highlights lack of national self-sufficiency" dan diunggah melalui jurnal Nature Food pada 16 Mei 2025 lalu.
Penelitian ini menganalisis seberapa baik setiap negara dapat memenuhi kebutuhan tujuh kelompok makanan penduduknya yaitu buah-buahan, sayur-sayuran, susu, ikan, daging, protein nabati, dan makanan pokok bertepung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetangga Indonesia di Urutan Dua
Di seluruh dunia, penelitian ini menemukan 65 persen negara memproduksi daging dan susu secara berlebihan, dibandingkan dengan kebutuhan makanan penduduknya sendiri.
Penelitian ini juga menemukan Guyana adalah satu-satunya negara yang mampu mandiri total. Sementara China dan Vietnam berada di urutan kedua dengan pemenuhan 6 kelompok makanan.
Hanya ada satu dari tujuh negara yang diuji, yang dinilai mampu swasembada dalam lima kategori atau lebih.
Pada saat yang sama, seperti dikatakan dalam BBC Science Focus, terjadi kekurangan tanaman padat nutrisi secara global. Kurang dari setengah negara-negara yang terlibat dalam penelitian tersebut memproduksi cukup protein nabati atau karbohidrat bertepung. Juga hanya 24 persen negara yang menanam cukup sayuran.
Eropa dan Amerika Selatan pada umumnya lebih mendekati swasembada daripada negara-negara lain. Namun, negara-negara kepulauan kecil, negara-negara di Semenanjung Arab, dan negara-negara berpenghasilan rendah lebih cenderung bergantung pada impor asing untuk makanan.
Sementara, Afghanistan; Uni Emirat Arab; Irak; Makau; Qatar; dan Yaman tidak menghasilkan cukup banyak kelompok makanan apa pun untuk dianggap swasembada dalam kategori tersebut.
Swasembada Rendah Tak Selalu Buruk, Tapi...
"Swasembada yang rendah tidak selalu buruk," kata peneliti di GΓΆttingen dan penulis pertama penelitian tersebut, Dr Jonas Stehl kepada BBC Science Focus.
"Ada alasan yang valid dan seringkali bermanfaat mengapa suatu negara mungkin tidak memproduksi sebagian besar makanan yang dibutuhkannya," jelasnya.
Alasan yang dimaksud misalnya, suatu negara mungkin tidak memiliki cukup hujan, tanah berkualitas baik, atau suhu yang stabil untuk menanam cukup makanan bagi penduduknya.
Stehl mengatakan mengimpor makanan dari daerah yang lebih cocok untuk memproduksinya juga dapat menghemat biaya.
"Namun, tingkat swasembada yang rendah dapat mengurangi kemampuan suatu negara untuk menanggapi guncangan pasokan pangan global yang tiba-tiba seperti kekeringan, perang, atau larangan ekspor," katanya.
Untuk mengetahui hal ini, tim di Universitas GΓΆttingen, Jerman, dan Universitas Edinburgh, Inggris mengukur berapa banyak makanan yang diproduksi setiap negara. Kemudian mereka membandingkannya dengan apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi warga negaranya, menurut diet Livewell dari World Wildlife Fund.
Diet Livewell merupakan diet fleksibel yang melibatkan penyeimbangan kembali konsumsi protein terhadap tanaman, makan lebih banyak sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian utuh, dan lebih sedikit makanan tinggi lemak, garam, dan gula.
Perdebatan mengenai keuntungan dari swasembada pangan meningkat setelah terjadinya pandemi COVID-19 dan pecahnya perang Rusia-Ukraina.
Stehl menambahkan, bangkitnya kembali minat terhadap kemandirian pangan nasional mungkin juga mencerminkan pergeseran politik yang lebih luas, termasuk tumbuhnya nasionalisme dan keinginan sebagian pihak untuk mengurangi ketergantungan pada negara asing.
"Membangun rantai pasokan pangan yang tangguh sangat penting untuk memastikan kesehatan masyarakat," ujarnya.
(nah/nwk)