Ketahanan Pangan Suku Badui: Huma, Lumbung Padi, dan Nilai-nilai Tradisi

ADVERTISEMENT

Ketahanan Pangan Suku Badui: Huma, Lumbung Padi, dan Nilai-nilai Tradisi

Fahri Zulfikar - detikEdu
Minggu, 24 Nov 2024 19:00 WIB
Warga Baduy, Banten, punya cara sendiri untuk menjaga ketahanan mereka. Mereka memiliki lumbung padai yang biasa disebut leuwit.
Foto: Bahtiar Rivai/Cara Warga Baduy Jaga Ketahanan Pangan
Jakarta -

Proyek ketahanan pangan termasuk food estate sebelumnya tidak berjalan sesuai rencana awal. Pakar menyebut proyek yang direncanakan, seperti di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, tak berhasil.

"Iya, gagal semua," kata Dwi Andreas Santoso, Guru Besar Pertanian IPB University dalam acara CORE Economic Outlook 2024, pada 23 Januari 2024 lalu.

Tahun ini, pada era Presiden Prabowo Subianto, pemerintah menganggarkan Rp 139,4 triliun untuk 2025 terkait ketahanan pangan. Gelontoran dana ini akan dimulai dengan berbagai program terutama untuk mengejar target swasembada pangan 2028.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Anggaran cukup besar di ketahanan pangan itu, tahun 2025 itu ada Rp 139,4 triliun totalnya, tapi tersebar. Ada melalui Kementerian Lembaga yang terkait ketahanan pangan," kata Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) dalam konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Rabu (30/10/2024) lalu.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa pemerintah masih belum berhasil menciptakan ketahanan pangan secara nasional. Namun, saat pemerintah terus menambal sulam kegagalan ketahanan pangan, berjarak 160 kilometer dari Jakarta, terdapat Suku Badui yang secara turun temurun memiliki pola kemandirian pangan yang apik.

ADVERTISEMENT

Dengan menjaga nilai-nilai tradisi yang ada, Suku Badui yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, terus mempertahankan kearifan lokal untuk pola ketahanan pangan mereka. Salah satunya dengan lumbung padi, yang disebut bisa tahan menyimpan padi hingga tahunan, bahkan puluhan tahun.


Padi Huma, Leuit, dan Ketahanan Pangan Suku Badui

Rahasia yang dimiliki masyarakat Badui adalah dengan menanam padi huma lalu menyimpannya ke dalam sebuah lumbung. Padi huma merupakan padi yang ditanam di tanah garapan atau ladang, bukan sawah.

Dalam penelitian Dr Jamaludin yang terbit di Mozaik (Journal of Humanism) Vol. 11-No. 1/2012-01, huma dijelaskan sebagai tanah pertanian berupa ladang padi dan palawija yang sehabis panen ditinggalkan, dibiarkan tidak digarap hingga kembali menjadi hutan dan berhumus kembali. Berladang atau ngahuma menjadi pola pertanian yang direncanakan dan berlangsung dengan siklus.

Pola ini disebut merupakan bagian dari evolusi sejarah pola pertanian dalam peradaban manusia dari budaya berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam.

Bagi masyarakat suku Badui, menanam padi di lahan persawahan dengan cangkul atau bajak adalah hal yang dilarang. Sejak nenek moyang leluhur mereka, masyarakat Badui telah menerapkan pola penanaman padi huma yang mewujudkan kedaulatan pangan.

Dalam hal ini, padi huma ditanam menggunakan benih lokal yang tahan terhadap kekeringan dan bisa dipanen setelah 6 bulan, demikian sebagaimana dikutip dari Antara.

Setelah dipanen, padi-padi itu akan disimpan dalam sebuah lumbung atau disebut juga dengan leuit. Dalam sekali panen, rata-rata satu keluarga bisa menyimpan sampai 300 gedeng (ikat) padi ke dalam lumbung.

Lumbung ini menjadi salah satu kearifan lokal yang dilakukan secara turun temurun pada masyarakat Badui untuk penyimpanan makanan. Setiap keluarga memiliki leuit dan bisa menampung padi, bahkan sampai puluhan tahun.

Tercatat pada Agustus 2023, ada sebanyak 8.000 leuit dari 4.000 keluarga yang menyimpan cadangan pangan masyarakat Badui. Jumlah ini bisa untuk memenuhi ketersediaan pangan pada tahun-tahun berikutnya.

Dengan pola hidup berladang dan memiliki lumbung ini, masyarakat Badui bisa menjaga stok makanan mereka secara mandiri. Begitulah prinsip ketahanan pangan masyarakat suku Badui yang telah bertahan dari generasi ke generasi.

Ketahanan Pangan sebagai Wujud dari Ketahanan terhadap Aturan

Apa yang dilakukan masyarakat Badui dalam menggarap tanah untuk ketahanan mereka bukan sekadar soal makanan. Lebih dari itu, mereka telah bertahan dari nilai-nilai leluhur mereka yang mengajarkan untuk memperlakukan tanah (huma) dengan taat aturan.

Dalam studi Yudi Putu Satriadi yang terbit di Patanjala Vol. 7, No. 3, September 2015, disebutkan bahwa orang-orang adat Badui tidak pernah mencoba untuk melanggar aturan dengan mengeksploitasi tanah di luar ketentuan yang berlaku. Maka dari itu, mereka memiliki pengetahuan yang baik tentang lapisan tanah yang subuh, sehingga muncul larangan menggarap tanah dengan cara mencangkul.

Kearifan lokal masyarakat Badui dalam menjaga tanah yang mereka pakai, secara tidak langsung juga membentuk perubahan psikologis secara turun temurun. Tak hanya pemikiran pola penggarapan tanah yang baik, melainkan menciptakan manusia yang baik kepada alam atau tanah.

Karena mereka sangat menaati aturan, sikap yang turun temurun adalah rendah hati dan kehati-hatian dalam menghargai pohon, air, dan juga makhluk hidup lainnya.




(faz/nwy)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads