Selama ini dipandang sebagai gulma pengganggu di lahan pertanian, alang-alang kini justru menunjukkan potensi besar dalam membantu pertanian. Peneliti dari IPB University mengungkap tumbuhan liar yang kerap tumbuh di pematang sawah ini ternyata berperan penting dalam mengendalikan hama padi secara alami.
Penelitian menunjukkan bahwa alang-alang berfungsi sebagai habitat alami bagi serangga parasit, yakni musuh alami berbagai jenis hama. Salah satu serangga yang hidup di alang-alang, lalat ganjur (Orseolia javanica), selama ini diketahui merusak tanaman tersebut hingga 20 persen. Namun, keberadaan serangga ini ternyata juga mendatangkan manfaat tersendiri.
"Kami berhasil mendeskripsikan spesies parasitoid baru yang diberi nama Platygaster orseoliae," ucapnya dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University yang digelar melalui zoom, Kamis (22/5).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim peneliti berhasil mengidentifikasi spesies parasitoid baru yang mampu memangsa lalat ganjur tidak hanya pada alang-alang, tetapi juga pada tanaman padi saat musim tanam berlangsung.
Temuan ini menunjukkan alang-alang dapat dimanfaatkan sebagai refugia atau tempat berlindung bagi musuh alami hama padi, berkontribusi langsung terhadap pengendalian hayati yang lebih berkelanjutan.
"Artinya, alang-alang yang selama ini dianggap sebagai gulma ternyata dapat berfungsi sebagai refugia alami bagi musuh alami hama padi," jelasnya.
Konsep ini dinilai sangat menjanjikan, terutama untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida kimia yang selama ini banyak menimbulkan kerusakan lingkungan. Dengan membiarkan atau menanam alang-alang di sekitar lahan pertanian, ekosistem musuh alami hama dapat terjaga secara alami.
Selain fokus pada pengendalian hayati, penelitian juga diarahkan pada pengembangan teknologi pendukung. IPB University merancang perangkat lunak identifikasi serangga berbasis digital bernama LUCID, yang mampu mempercepat proses pengenalan spesies hingga 50 % lebih efisien dibandingkan metode konvensional.
"Dengan LUCID, proses identifikasi bisa 50 % lebih cepat dibanding metode konvensional. Selain itu, perangkat ini memudahkan siapa pun untuk belajar mengenali serangga tanpa harus menjadi ahli taksonomi," ungkapnya.
Teknologi ini juga dirancang agar dapat diakses oleh siapa saja, tanpa perlu keahlian taksonomi mendalam.
Serangga, yang mencakup sekitar 80 persen dari seluruh spesies hewan di bumi, memiliki peran besar dalam ekosistem. Secara biomassa, keberadaan mereka jauh melampaui total berat manusia.
Ia mengungkapkan, "Secara biomassa, berat total serangga dua setengah kali lipat lebih besar dari total biomassa manusia. Nilai ekonomi dari jasa ekologi yang mereka berikan pun sangat besar."
Nilai ekonomi dari jasa ekologis yang diberikan oleh serangga bahkan diperkirakan mencapai hampir Rp3.760 triliun, atau sekitar tiga kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2025.
Namun, di sisi lain, hama serangga juga menjadi penyebab kerugian hingga 30 persen hasil pertanian, dan penggunaan pestisida untuk mengatasinya justru memperburuk keseimbangan alam. Karena itu, pendekatan berbasis ekologi seperti yang dikembangkan IPB University semakin relevan.
Potensi serangga tidak hanya terbatas pada peran ekologis. Beberapa spesies, seperti lalat tentara hitam dan ulat sagu, mulai dimanfaatkan sebagai sumber protein alternatif.
Selain itu, bentuk dan perilaku serangga juga menjadi inspirasi bagi inovasi teknologi modern, mulai dari desain kamera 3D berbasis struktur mata capung hingga pengembangan sistem navigasi untuk drone dan helikopter.
Dengan pengelolaan yang tepat, serangga dapat menjadi aset strategis bagi ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan di masa depan.
"Serangga adalah makhluk kecil dengan dampak yang luar biasa. Jika dimanfaatkan dan dikelola dengan bijak, mereka bisa menjadi kunci keberlanjutan ekosistem dan pertanian kita," pungkasnya.
(pal/nwk)