Tahun 2024 disebut sebagai tahun terpanas dalam sejarah pencatatan instrumental. Hal itu diungkap oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati.
"Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia," ujar Dwikorita dilansir dari laman BMKG, Jumat (9/5/2025).
Rata-rata suhu global tahun 2024 mencapai 1,55Β°C di atas tingkat pra-industri. Artinya, tingkat kepanasan telah melewati ambang batas sesuai Perjanjian Paris yakni 1,5Β°C.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data BMKG, peningkatan suhu telah terjadi sejak 1981. Hingga 2024 ini, kenaikan suhu terus memberikan dampak buruk terhadap sektor vital seperti kesehatan publik.
Dampak Kenaikan Suhu, Sebabkan Kepunahan Massal?
Dwikorita juga menyebut perubahan suhu sekarang lebih cepat dibandingkan pada jutaan tahun lalu yang dapat sebabkan kepunahan massal. Oleh karena itu, kenaikan suhu ini menurut Dwikorita jadi peringatan serius, terutama dalam melihat indikator krisis iklim.
Lebih jauh, kondisi tersebut dapat menyebabkan stabilitas ekosistem terganggu.
"Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun," kata Dwikorita.
Dampak nyata yang bisa dirasakan masyarakat dari peningkatan suhu antara lain penyakit menular, gangguan kesehatan mental, malnutrisi, sampai menurunnya kualitas hidup. Terlebih, suhu rata-rata nasional di Indonesia pada 2024 mencapai 27,52Β°C.
Memburuknya kesehatan warga juga dipengaruhi oleh perubahan pola curah hujan. Akibatnya, kasus infeksi karena kolera dan gigitan serangga meningkat.
Sistem Peringatan Dini Multibahaya
Dalam menanggapi dampak bahaya dari kenaikan suhu ini, BMKG bersama pihak lain mengembangkan sistem peringatan dini multibahaya berbasis kecerdasan buatan (AI). Kolaborasi dilakukan bersama Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dengan didukung oleh Institute for Health Modeling and Climate Solutions (IMACS) dan Mohammed bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI).
Sistem berfungsi dalam memprediksi musim hingga enam bulan ke depan. Keakuratan sistem disebut mencapai 85 persen.
"Dengan bantuan AI, prediksi ini bisa lebih akurat dan presisi, hingga skala kota, kabupaten atau bahkan satu desa," jelasnya.
Selain itu, BMKG menerapkan layanan cuaca di beberapa daerah melalui platform DBKlim. Platform tersebut sudah ada di Jakarta dan Bali untuk peringatan dini atas kasus demam berdarah.
Dengan tibanya musim kemarau 2025, Dwikorita mewanti-wanti warga untuk terus waspada terhadap potensi bencana. Ia mengimbau masyarakat selalu memantau informasi terkini dari BMKG.
"Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan," pesannya.
(cyu/twu)