Setelah beberapa bulan hadir, kondisi La Nina telah mereda di wilayah Samudra Pasifik. Kini Samudra Pasifik tengah memasuki fase netral ENSO, apa maksudnya?
La Nina dan El Nino adalah dua fase utama dari El Nino/Southern Oscillation (ENSO). Sebuah anomali pola pergantian suhu permukaan laut dan perubahan atmosfer di Samudra Pasifik.
El Nino adalah fase hangat dari pola iklim yang ditandai dengan keadaan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik naik di atas rata-rata. Sebaliknya, La Nina adalah fase dingin, dengan suhu di bawah rata-rata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun fase-fase ini berasal dari Samudra Pasifik, pengaruhnya bisa meluas secara global. Bahkan membentuk pola cuaca dan iklim seperti perubahan suhu, curah hujan, badai, hingga aktivitas tornado.
Keadaan suhu bumi berputar di antara kedua fase ini. Siklusnya memang tidak teratur, biasanya 2-7 tahun dengan tahap "netral" di antaranya. Kini, tahap "netral" itu terjadi di 2025.
Dampak Tidak Ada La Nina dan El Nino
Fase La Nina terakhir dinilai berlangsung sangat singkat. Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat/National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) juga sudah memprediksi hal ini akhir tahun 2024 lalu.
La Nina memang muncul di Samudra Pasifik pada Desember 2024, tetapi suhu permukaan laut di samudra pasifik timur malah meningkat. Oleh karena itu, ENSO dianggap memasuki fase netral.
Fase netral berarti suhu permukaan laut tidak cukup hangat untuk disebut sebagai El Nino. Tetapi juga tidak cukup dingin untuk masuk dalam kategori La Nina.
"Kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa kondisi La Nina telah berakhir," kata NOAA dikutip dari IFL Science.
NOAA dan para peramal cuaca memperkirakan kondisi ENSO netral akan terus berlanjut hingga musim panas di Belahan Bumi Utara. Bahkan ada peluang hingga lebih dari 50% yang menyatakan keadaan ini terus terjadi hingga musim gugur atau sekitar bulan September 2025.
Meskipun keadaan suhu permukaan laut dalam fase netral, bukan berarti cuaca akan tenang dan baik-baik saja. Keadaan saat ini dinilai membuat sulit lembaga meteorologi dalam memberi ramalan cuaca.
Pengaruh kuat El Nino dan La Nina selama ini membantu dalam memperkirakan cuaca. Hal itu bisa terjadi karena keduanya sudah dipahami dengan baik sebagai sirkulasi atmosfer global.
"Para peramal cuaca senang dengan adanya El Nino dan La Nina karena dapat memberikan beberapa informasi yang berguna beberapa bulan sebelumnya," lanjut NOAA.
Tanpa adanya El Nino dan La Nina, sinyal prediksi cauca akan menjadi lemah. Memang masih ada pola lain yang memengaruhi cuaca dan iklim bahkan banyak sekali. Namun, tanpa El Nino dan La Nina prediksi serta peringatan cuaca yang dikeluarkan beberapa bulan sebelumnya akan lebih sulit dilakukan.
Intinya, para ahli meteorologi yang bertugas memprediksi cuaca akan kesulitan dalam beberapa bulan ke depan. Tanpa sinyal ENSO yang jelas untuk diandalkan, mereka harus menggali data secara mendalam untuk mengetahui misteri cuaca apa yang akan terjadi.
BMKG Sampaikan Hal Serupa
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia juga menyampaikan hal serupa. Setelah memonitoring suhu muka laut pada awal Maret 2025, disebutkan fenomena iklim La Nina di samudra pasifik telah reda.
Bahkan bertransisi menuju fase El Nino Southern Oscillation (ENSO) netral. Keadaan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) juga diperkirakan fase netral.
Keduanya bahkan diprediksi akan tetap berada di fase netral setidaknya sepanjang musim kemarau Indonesia di 2025. Melihat hal itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menyebutkan kemarau tahun ini dalam kondisi normal. Tidak ada anomali iklim El Nino ataupun IOD.
Kendati demikian bukan berarti tidak akan ada hujan selama musim kemarau ini. Mengingat ada beberapa wilayah RI yang memiliki sifat musim kemarau di atas normal.
Wilayah ini kemungkinan akan menerima akumulasi curah hujan musiman lebih tinggi dari biasanya.
"Jadi utamanya adalah karena tidak adanya dominasi iklim global seperti El Nino, La Nina, dan IOD sehingga prediksi kami iklim tahun ini normal dan tidak sekering tahun 2023 yang berdampak pada banyak kebakaran hutan dan musim kemarau tahun 2025 cenderung mirip dengan kondisi musim kemarau tahun 2024," ungkap Ardhasena dikutip dari laman BMKG.
(det/pal)