Apa Itu Program Nuklir Iran? Begini Kaitannya dengan AS hingga China

ADVERTISEMENT

Apa Itu Program Nuklir Iran? Begini Kaitannya dengan AS hingga China

Trisna Wulandari - detikEdu
Kamis, 03 Apr 2025 13:00 WIB
Menyerah atau Eskalasi, Pilihan Sulit dari Trump buat Iran
Presiden AS Trump mengancam akan mengebom Iran jika tidak mencapai kesepakatan nuklir. Iran menolak negosiasi langsung, China dan Rusia mendukung dialog damai. Foto: DW (News)
Jakarta -

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mengebom Iran jika tidak menerima tuntutan AS untuk membatasi program nuklir. Ancaman ini disampaikan Trump usai menawarkan pembicaraan terkait program nuklir Iran tetapi ditolak Iran jika harus dilaksanakan lewat negosiasi tatap muka.

Trump mengatakan kemungkinan akan memberi waktu beberapa pekan bagi Iran untuk membuat kesepakatan terkait program nuklirnya dengan AS.

"(Jika tidak) membuat kesepakatan, akan ada pengeboman. Pengeboman ini tidak akan seperti yang pernah mereka lihat sebelumnya," kata Trump, dilansir Reuters, Senin (31/3/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Trump menambahkan AS akan memberlakukan tarif sekunder pada Iran seperti yang terjadi 4 tahun lalu jika Iran-AS tidak mencapai kesepakatan.

Dikutip dari NBC, tarif sekunder merupakan sanksi yang diterapkan pemerintahan Trump bagi negara yang berdagang pada negara sasaran. Contohnya, Trump mengancam akan menerapkan tarif sekunder 25-30 persen bagi negara yang mengenakan membeli minyak Rusia jika Rusia tidak berdamai dengan Ukraina. Terkait Iran, ia mengancam akan mengenakan tarif sekunder bagi negara-negara yang berdagang dengan Iran.

ADVERTISEMENT

Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyatakan pihaknya menolak jika negosiasi dilaksanakan secara langsung, khususnya saat berada di bawah tekanan maksimal dan ancaman militer. Sementara itu, pihaknya tidak menutup pintu negosiasi yang dilaksanakan secara tidak langsung.

"Negosiasi langsung (dengan AS) sudah ditolak, tetapi Iran selalu terlibat dalam negosiasi tidak langsung. Kini, juga, Supreme Leader (Ayatollah Ali Khamenei) menekankan bahwa negosiasi tidak langsung bisa terus berlanjut," ucapnya.

Apa Itu Program Nuklir Iran?

Program nuklir Iran merupakan program kerja sama penelitian tentang penggunaan energi atom secara damai. Program ini diluncurkan pada 1950-an. Program ini didukung AS melalui program Atoms for Peace (Atom untuk Perdamaian) pada masa pemerintahan Presiden AS Dwight Eisenhower.

Pada 1970, Iran meratifikasi Perjanjian Non-Proliferasi (NPT) sehingga program nuklir Iran masuk dalam pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA). Kerja sama ini berakhir setelah Revolusi Iran 1979 sehingga Iran kemudian menjalankan program nuklirnya sendiri.

Pada Juli 2015, Iran meneken perjanjian nuklir Iran bersama beberapa negara maju, yakni AS, China, Prancis, Rusia, dan Inggris, dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

Perjanjian ini salah satunya menyatakan bahwa Iran untuk mengungkap sebagian besar program nuklirnya, kemudian membuka fasilitas nuklirnya untuk diinspeksi internasional lebih luas. Imbalannya yakni keringanan sanksi senilai miliaran dolar dan embargo senjata, dikutip dari Council on Foreign Relation (CFR).

Lebih lanjut, perjanjian ini meliputi Iran setuju atas pembatasan nuklir, dengan tidak memproduksi uranium atau plutonium yang dapat digunakan dalam senjata Nuklir. Iran juga setuju memastikan fasilitas nuklir Fordow, Nataz, dan Arak hanya digunakan untuk kegiatan sipil seperti penelitian medis dan industri.

Inspeksi IAEA dan PBB pada fasilitas nuklir juga disetujui Iran untuk fasilitas yang tidak diumumkan secara publik. Langkah ini untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir rahasia seperti sebelumnya.

Pendukung perjanjian JCPOA menyatakan perjanjian ini bantu mencegah kembalinya program senjata nuklir Iran. Perjanjian ini dinilai mengurangi potensi konflik antara Iran dan negara pesaing di dekatnya, seperti Israel dan Arab Saudi.

Atas perjanjian ini, Presiden AS Barack Obama pada 2016 mencabut sanksi sekunder Iran pada sektor minyak. Langkah ini memungkinkan Iran meningkatkan ekspor minyak hingga mendekati tingkat sebelum dikenakan sanksi. Aset-aset Iran yang dibekukan di AS dan negara-negara Eropa juga dicairkan, dengan angka sekitar USD 100 miliar (Rp 1.656 kuadriliun).

Perjanjian ini terancam setelah Trump menarik AS keluar dari kesepakatan ini pada 2018. Trump menyatakan kesepakatan ini gagal mengatasi program rudal balistik Iran maupun perang proksi di wilayah tersebut.

Merespons keluarnya AS dan serangan mematikan pada tokoh-tokoh Iran, yang salah satunya dilakukan AS, maka Iran kemudian melanjutkan aktivitas nuklirnya.

Inspektur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan Iran sudah memperkaya sejumlah kecil uranium ke tingkat senjata pada awal 2023. Hal ini memicu kekhawatiran negara Barat.

Presiden AS saat itu, Joe Biden, mengatakan AS akan kembali ke kesepakatan JCPOA jika Iran juga kembali menaati perjanjian. Namun kesepakatan tidak tercapai hingga saat ini. Poin-poin perjanjian JCPOA yang punya tanggal kedaluwarsa juga mulai berakhir sejak akhir 2023.

Reaksi China

Sementara itu, Rusia dan China, pihak lainnya pada perjanjian JCPOA, menyatakan pembicaraan program nuklir Iran yang diminta AS harus berlanjut dengan hormat satu sama lain. Pernyataan ini disampaikan usai pertemuan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi pekan ini di Moscow.

Dilansir laman resmi Kemlu China, Wang Yi menyatakan pihaknya meminta penyelesaian sengketa program nuklir Iran secara damai melalui cara politik dan diplomatik.

"Dan (China) menentang penggunaan kekerasan dan sanksi ilegal," tulisnya.

Sementara itu, Wang Yi mengatakan Iran harus terus menghormati komitmennya untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Sedangkan semua pihak lainnya harus sepenuhnya menghormati hak Iran untuk menggunakan energi nuklir secara damai pada Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT).

China juga meminta perjanjian JCPOA dipakai sebagai dasar konsensus baru.

"Amerika Serikat harus menunjukkan ketulusan politik dan kembali berunding sedini mungkin," sambungnya.

Wang Yi menyatakan China juga menentang adanya desakan agar Dewan Keamanan PBB melakukan intervensi. Sebab, langkah ini dinilai tergesa-gesa dan tidak bantu membangun kepercayaan antarpihak.




(twu/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads