Mengulik Sejarah Jalan Pantura yang Dibangun Jenderal Daendels

ADVERTISEMENT

Mengulik Sejarah Jalan Pantura yang Dibangun Jenderal Daendels

Anindyadevi Aurellia - detikEdu
Selasa, 11 Mar 2025 04:00 WIB
Ilustrasi Jalur Pantura
Foto: Saktyo Dimas R/detikJateng
Jakarta -

Jalan Pantai Utara (Pantura) merupakan salah satu jalur transportasi utama yang memiliki peran penting dalam mobilitas masyarakat dan distribusi barang di Pulau Jawa. Sebelum adanya jalan tol Trans-Jawa, jalur ini menjadi urat nadi yang menghubungkan berbagai kota besar di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.

Jalan Pantura menyimpan sejarah panjang yang bermula sejak era kolonial Belanda. Jalur ini pertama kali dibangun pada awal abad ke-19 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels.

Ia memerintahkan pembangunan jalan raya yang membentang dari Anyer hingga Panarukan dengan tujuan memperlancar arus perdagangan serta memperkuat pertahanan kolonial Belanda dari ancaman serangan Inggris. Namun, proyek ambisius ini dilakukan dengan sistem kerja paksa (kerja rodi), yang menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat pribumi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Jalan Pantura yang Berbeda dengan Jalan Raya Pos

Mengutip buku Dua Abad Jalan Raya Pantura: Sejak Era Kerajaan Mataram Islam hingga Orde Baru karya Endah Sri Hartatik, Pantura merupakan wilayah yang dihuni oleh masyarakat pesisir dan petani sawah yang memiliki karakter unik dibandingkan dengan masyarakat pedalaman.

Tidak diketahui secara pasti kapan istilah Pantura pertama kali digunakan, namun istilah ini mulai populer di media pada akhir 1980-an. Kala itu, surat kabar Kedaulatan Rakyat mengklasifikasikan daerah seperti Semarang, Rembang, Pati, Kudus, Kendal, hingga Brebes sebagai bagian dari Pantai Utara Jawa.

ADVERTISEMENT

Disadur dari buku Napak Tilas Jalan Daendels karya Angga Indrawan, Pantura dikenal sebagai pusat aktivitas ekonomi karena menjadi jalur utama transportasi orang, barang, dan jasa, serta menghubungkan wilayah pedalaman dengan pelabuhan. Jalan Pantura membentang di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, sesuai dengan namanya yang berasal dari lokasi tersebut.

Jalan Pantura dibangun pada tahun 1808 oleh Daendels. untuk memperlancar transportasi hasil pertanian dan perkebunan, serta mempercepat mobilisasi pasukan dan barang antara Batavia (sekarang Jakarta) dan Surabaya, yang saat itu dianggap sebagai benteng pertahanan dari ancaman serangan Inggris.

Sering kali, pembangunan jalan ini dikaitkan dengan istilah kerja rodi pada masa penjajahan Belanda, khususnya dalam proyek pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan, yang kini menjadi bagian dari Jalan Pantura.

Pembangunan jalur ini dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, Daendels membangun jalur yang menghubungkan Pelabuhan Merak dengan Ujung Kulon pada tahun 1808. Kemudian, ia melanjutkan pembangunan jalan dari Anyer ke Batavia hingga Merak.

Pada tahun berikutnya, jalur yang menghubungkan Pandeglang dengan Semarang mulai dikerjakan, dan proyek ini berlanjut hingga pembangunan jalan antara Semarang dan Demak. Pada tahun 1857, pemerintah kolonial akhirnya mengizinkan rakyat untuk menggunakan jalan ini melalui Surat Keputusan No. 4 tertanggal 19 Agustus 1857.

Berbeda dengan Jalan Raya Pos

Banyak yang menganggap bahwa Jalan Raya Pantura identik dengan Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Daendels pada awal abad ke-19. Namun, kenyataannya kedua jalan ini berbeda.

Jalan Raya Pos membentang dari Anyer hingga Panarukan, tetapi sebagian besar jalurnya melewati daerah pedalaman di Jawa Barat, seperti Depok, Bogor, Bandung, dan Sumedang. Oleh karena itu, jalan ini tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai jalur utama Pantura.

Dalam catatan detikcom melalui wawancara dengan Felia Ayu Safira, pemandu wisata Tourist Information Center (TIC) Kota Bandung, disebut Jalan Raya Pos atau Groote Postweg membawa pengaruh besar bagi proses distribusi dan mobilisasi terutama di wilayah pemerintahan Jawa Barat. Jalur Groote Postweg lebih berfokus untuk perhubungan sarana transportasi dan pengangkutan hasil bumi, sebab kala itu dataran tinggi Priangan punya banyak hasil tani berupa kopi, kina, dan teh.

Hasil bumi tersebut diangkut menggunakan pedati yang ditarik oleh kerbau, sapi, atau kuda melewati Jalan Raya Pos (sekarang Jalan Asia Afrika). RA Wiranatakusumah II kemudian menetapkan kantor pusat pemerintahan di dekat pembangunan jalan tersebut dan menetapkan titik 0 kilometer Kota Bandung (sekarang kantor Dinas Bina Marga Jawa Barat).

Sementara, Jalan Raya Pantura memiliki sejarah dan perkembangan tersendiri. Bahkan, di wilayah Jawa Tengah, jalur ini telah digunakan jauh sebelum pembangunan Jalan Raya Pos oleh Daendels.

Perkembangan Jalan Pantura semakin pesat pada abad ke-20 dengan adanya modernisasi transportasi darat. Kehadiran kendaraan bermotor seperti mobil, sepeda motor, bus, dan truk mendorong pertumbuhan sosial dan ekonomi di sepanjang jalur ini.

Khususnya di Jawa Tengah, Jalan Raya Pantura berperan sebagai penghubung utama antara Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, menjadikannya salah satu jalur transportasi terpenting di Pulau Jawa. Berdasarkan informasi dari situs resmi Kementerian PUPR, Jalan Pantura merupakan jalur lintas provinsi yang menghubungkan kota-kota di empat provinsi, yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jalur ini memiliki panjang total 1.161,47 km, dimulai dari Merak, Banten, hingga Banyuwangi, Jawa Timur.

Sebagai bagian dari jaringan Jalan Nasional dengan fungsi Arteri, Jalan Pantura sering dilalui oleh kendaraan besar seperti truk dan bus. Perannya sebagai jalur utama distribusi barang dan mobilitas masyarakat.




(aau/fds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads