Peneliti Dr Riczar Fuentes dan Dr Alfred Pawlik dari Departemen Sosiologi dan Antropologi (DSA) dari Sekolah Ilmu Sosial Dr Rosita G Leong (RGL SOSS) Universitas Ateneo de Manila yang menantang pendapat umum bahwa kemajuan teknologi selama Paleolitik hanya muncul di Eropa dan Afrika, demikian seperti dilansir dari situs kampus Ateneo de Manila, Jumat (21/2/2025), ditulis Sabtu (1/3/2025).
Orang-orang kepulauan Asia Tenggara, terutama di kawasan Filipina dan Wallace (kini Sulawesi-Maluku-NTT) mungkin telah membangun perahu canggih dan menguasai pelayaran puluhan ribu tahun lalu, ribuan tahun sebelum para penjelajah laut Magellan dari Portugis, Zheng He/Cheng Ho dari Tiongkok, dan bahkan orang Polinesia.
Analisis perkakas batu di situs-situs di Asia Tenggara memberikan bukti bahwa wilayah ini merupakan pelopor teknologi pelayaran. Arkeologi mendukung bahwa 40 ribu tahun yang lalu, orang-orang yang tinggal di Asia Tenggara sangat ahli dalam pembuatan perahu dan penangkapan ikan di laut lepas. Penelitian ini menempatkan Asia Tenggara di depan Eropa dan Afrika dalam proses teknologi, demikian dilansir dari Popular Mechanics, Selasa (25/2/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar kepulauan Asia Tenggara tidak pernah terhubung ke daratan Asia, baik melalui jembatan darat maupun lapisan es, namun telah menghasilkan bukti hunian manusia purba. Bagaimana tepatnya masyarakat ini mencapai penyeberangan laut yang begitu berani adalah misteri yang tak kunjung berakhir.
Hal ini karena bahan organik seperti kayu dan serat yang digunakan untuk membuat perahu jarang ditemukan dalam catatan arkeologi. Namun, situs arkeologi di Filipina, Indonesia, dan Timor Leste kini memberikan bukti kuat bahwa pelaut kuno memiliki kecanggihan teknologi yang sebanding dengan peradaban yang jauh lebih baru.
Perahu Bukan dari Kayu Tapi Serat Tanaman
Satu desain perahu yang mungkin tidak memerlukan penggunaan serat dalam konstruksinya adalah kano atau perahu kayu. Lambungnya terbuat dari satu bahan, bukan dibangun dari beberapa bagian yang perlu dirakit dan dipasang. Konstruksi desain semacam itu juga memerlukan peralatan yang hanya muncul pada akhir masa Pleistosen dalam catatan arkeologi wilayah tersebut, seperti kapak.
Lebih jauh, pengerjaan kayu sebagaimana disimpulkan dari analisis jejak peralatan batu tampaknya sangat terbatas juga karena jenis peralatan dominan dari sekitar 40.000 tahun lalu adalah serpihan batu, yang seringkali berukuran relatif kecil. Dengan demikian, peneliti mengesampingkan kemungkinan perahu kayu yang mirip dengan yang telah ditemukan selama Holosen dari Eropa Mesolitik dan Tiongkok Timur, yang berasal dari sekitar 8-7,5 ribu tahun lalu.
Teknologi dan aktivitas yang diidentifikasi dalam kepulauan Asia Tenggara selama akhir Pleistosen yang dilakukan dengan peralatan batu serpihan tampaknya mengarah pada pemrosesan tanaman yang lebih lunak dan bukan kayu.
Analisis mikroskopis terhadap peralatan batu yang digali di situs-situs ini, yang berasal dari sekitar 40.000 tahun yang lalu, menunjukkan jejak yang jelas dari pemrosesan tanaman-terutama ekstraksi serat yang diperlukan untuk membuat tali, jaring, dan ikatan yang penting untuk pembuatan perahu dan penangkapan ikan di laut lepas.
Situs arkeologi di Mindoro-Filipina dan Timor Leste juga menemukan sisa-sisa ikan laut dalam seperti tuna dan hiu serta peralatan penangkapan ikan seperti kail pancing hingga pemberat jaring.
"Sisa-sisa ikan pelagis predator besar di situs-situs ini menunjukkan kapasitas untuk pelayaran tingkat lanjut dan pengetahuan tentang musim dan rute migrasi spesies ikan tersebut," kata para peneliti dalam makalah mereka.
Sementara itu, penemuan peralatan memancing "menunjukkan perlunya tali yang kuat dan dibuat dengan baik untuk tali dan benang pancing guna menangkap fauna laut".
Karena temuan arkeologis mengarah pada metode canggih penangkapan ikan di laut dalam, penulis studi percaya bahwa pelaut kuno membangun perahu dari bahan organik dan menyatukannya dengan tali berbahan dasar tumbuhan. Teknologi tali yang sama kemudian diadaptasi untuk penangkapan ikan yang sebenarnya.
Meskipun secara luas diterima bahwa keberadaan fosil dan artefak di berbagai pulau memberikan bukti bahwa manusia modern awal berpindah melintasi laut terbuka, penulis studi tersebut menentang teori yang berlaku bahwa migrasi prasejarah adalah pengembara laut pasif di atas rakit bambu.
Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa pergerakan tersebut berasal dari navigator yang sangat terampil yang dilengkapi dengan pengetahuan dan teknologi untuk melakukan perjalanan ke lokasi terpencil di perairan dalam.
"Identifikasi bahan pembuat perahu melalui bukti langsung atau tidak langsung sangat penting dalam memahami pergerakan melintasi dan di dalam lingkungan pulau," tulis penulis dalam studi tersebut.
"Kehadiran teknologi maritim yang canggih di kepulauan Asia Tenggara prasejarah menyoroti kecerdikan masyarakat Filipina awal dan tetangga mereka," kata para penulis studi ini.
"Pengetahuannya (orang kepulauan Asia Tenggara prasejarah) tentang pembuatan perahu kemungkinan menjadikan wilayah tersebut sebagai pusat inovasi teknologi puluhan ribu tahun yang lalu dan meletakkan dasar bagi tradisi maritim yang masih berkembang di wilayah tersebut hingga saat ini," jelas peneliti ini.
Bersama dengan arsitek angkatan laut dari Universitas Cebu, para peneliti Universitas Ateneo de Manila memulai Proyek First Long-Distance Open-Sea Watercrafts (FLOW), yang didukung oleh hibah penelitian dari Universitas Ateneo de Manila, dengan tujuan untuk menguji bahan mentah yang mungkin digunakan di masa lalu, dan untuk merancang dan menguji model kapal laut berskala kecil.
Studi berjudul Testing the waters: Plant working and seafaring in Pleistocene Wallacea telah terbit di Journal of Archaeological Science: Reports Volume 62, April 2025.
(nwk/pal)