Sebagian astronaut yang menjelajahi luar angkasa merupakan muslim. Maka dari itu, praktik beribadah tentunya menjadi tantangan sendiri bagi mereka.
Sebagai contoh, untuk melaksanakan salat, umat Islam wajib menghadap kiblat. Hal ini tentunya berkaitan dengan aspek geografi Bumi.
Selain itu, pergerakan matahari juga menentukan waktu salat fardhu serta awal dan akhir puasa. Padahal, Matahari terbit dan tenggelam 16 kali dalam satu hari di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, bagaimana caranya para astronaut muslim melakukan salat dan puasa?
Puasa di Luar Angkasa
Ulama kondang asal Zimbabwe, Dr Ismail ibn Musa Menk pernah menerangkan soal waktu dan pedoman salat dan puasa untuk para astronaut yang sedang berada di luar angkasa.
Mufti Menk, demikian sapaan akrabnya, mengungkap orang-orang di Bumi mengikuti pergerakan matahari selama satu hari penuh untuk menentukan waktu puasa. Perhitungan atau hisab perlu dilakukan untuk muslim yang berada di zona matahari yang tidak terbit dan terbenam dalam 24 jam.
"Puasa yang dihitung itu dilakukan dengan mempertimbangkan 24 jam dan membaginya sama rata. Jadi berjumlah 12 jam siang dan 12 jam waktu malam. Puasanya berlangsung selama 12 jam. (Untuk) 12 jam pertama dijadikan awal, serta 12 jam akhir dijadikan waktu berbuka puasa dan shalat Maghrib," jelas Mufti Menk, dikutip melalui situs Khaleej Times.
Ia pun menilai puasa tidak diwajibkan untuk astronaut. Sebab, mereka termasuk dalam orang yang sedang dalam perjalanan jauh alias safar.
Menurut Mufti Menk, astronaut tidak wajib puasa saat bepergian dan bisa melanjutkan puasanya setelah mencapai Bumi.
Pengalaman Ramadan hingga Idul Fitri di luar angkasa pernah dijalani oleh Astronaut asal Uni Emirat Arab yakni Sultan Al Neyadi. Ia pernah menjalankan misi luar angkasa pada 2023.
Al Neyadi merupakan bagian dari Crew 6 bersamaan dengan sejumlah astronaut NASA untuk tugas panjang di ISS. Saat itu, Al neyadi mengabiskan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha di luar angkasa.
Seperti dikatakan dalam IFLScience, dalam konferensi persnya Al Neyadi mengatakan ia mengikuti waktu Universal Coordinated Time (UTC) untuk memulai puasa.
Salat di Luar Angkasa
Salat untuk para astronaut muslim juga mendapatkan keringanan. Seorang ulama asal Dubai, Sheikh Ayaz Housee pernah menerangkan seorang astronaut boleh menggabungkan dan meringkas salat fardhu lima waktu.
"Jika astronaut sedang bepergian, mereka diperbolehkan shalat 'Qashar', dengan hukum shalat yang berlaku sebanyak yang dia bisa," kata Sheikh Housee.
Soal waktu salat, menurut Mufti Menk sesuai perhitungan siang dan malam yang dibagi sama rata 12 jam. Saat permulaan siang, astronaut dapat menjalankan salat Subuh.
Kemudian salat Dzuhur bisa dilakukan setelah enam jam. Salat Ashar dilakukan setelah sembilan jam waktu siang.
Salat Maghrib dilakukan setelah 12 jam dan waktu Maghrib dihitung sudah ada di permulaan malam. Isya dilakukan dua jam setelah masuk malam hari.
Untuk tata cara salatnya, menurut Mufti Menk bisa dilakukan di posisi apa pun sebisanya astronaut.
"Jika berada di ruang dan tidak mampu sujud, atau seperti yang kita lakukan di tanah atau berdiri atau dalam posisi shalat apa pun, maka kita boleh menggantinya dengan posisi berikutnya yang memungkinkan. Kalau tidak kuat berdiri boleh duduk, kalau tidak kuat berbaring bisa shalat," jelasnya.
Kemudian, soal kiblat ia menjelaskan Islam memberi kemudahan.
"Kiblat atau arah shalatnya adalah menghadap ke Bumi, dan jika tidak bisa karena tak ada gravitasi, maka dibolehkan menghadap ke Bumi ke arah mana saja, dan shalat astronautnya tetap sah," terangnya.
(nah/nwk)