Isra Mi'raj merupakan momen penting bagi pemeluk agama Islam. Berlangsung pada abad ke-7 Masehi, peristiwa ini menandai perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Palestina dalam satu malam.
Disebutkan jika Nabi Muhammad menunggangi Buroq atau Buraq, sebuah hewan anggun bersayap yang secara harfiah berarti kilat. Perjalanan itu disebut melampaui kecepatan cahaya, yang secara terotis tidak mungkin dilakukan oleh makhluk fisik.
Perjalanan dari Masjidil Haram, Mekah, ke Masjidil Aqsa, Palestina menempuh perjalanan sejauh 1.471 km. Apabila mengacu pada Google Maps, seseorang yang mengendarai mobil baru akan sampai 16 jam 37 menit kemudian. Lantas, bagaimana perjalanan ini bisa terjadi?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penjelasan Sains dari Perjalanan Isra Mi'raj
Agus Purwanto selaku Guru Besar Teori Fisika ITS Agus mengatakan, tidak sedikit para ilmuwan menggunakan pendekatan teori Relativitas Khusus dari Albert Einstein. Teori tersebut membahas struktur ruang dan waktu.
Karena perjalanan Nabi bersama dengan malaikat Jibril, maka kecepatan kendaraan yang dipakai Nabi Muhammad setara kecepatan cahaya yaitu 300.000 km/detik. Jika Mi'raj terjadi dari pukul 20.00 hingga 04.00, berarti perjalanan dari bumi ke langit kemudian pulang dari langit ke bumi berdurasi 8 jam.
Menurut Agus hal ini mustahil. Apabila kecepatan Nabi Muhammad setara dengan kecepatan cahaya, maka ia belum keluar dari sistem tata surya.
Jika dikalikan dengan kecepatan cahaya 300.000 km/detik, akan dihasilkan jarak tempuh sejauh 4.320.000.000 km dari b=bumi. Artinya, perjalanan ini baru mencapai planet Neptunus, planet terluar dari sistem tata surya. Nabi masih membutuhkan sekitar 4.4 tahun kecepatan cahaya hanya untuk sampai menuju alfancentauri.
Oleh karena itu, Agus berpendapat jika peristiwa Isra Mi'raj tidak bisa dijelaskan menggunakan teori Relativitas. Tak hanya itu, manusia juga belum menemukan materi yang bermassa yang bisa secepat cahaya. Artinya, hanya malaikat dan ruh saja yang bisa memiliki kecepatan 300.000 km/detik.
"Karena ini bicara sains, akan terjadi pembengkakan massa yang besar sekali, dengan kata lain kalau Nabi Saw secepat kecepatan cahaya tubuhnya akan meledak. Karenanya hentikan penjelasan peristiwaIsra' Mi'raj ini dengan pendekatan Relativitas Khusus Einstein," ujar Agus dalam lamanMuhammadiyah dikutip Kamis (30/1/2025).
Menggunakan Teori Relativitas Umum
Agus kemudian merujuk pada Surat Al-Qu'ran yakni Al Isra ayat 1 dan An Najm ayat 13-18,. Kata Agus, terdapat tiga kunci yang ada pada peristiwa Isra' Mi'raj yaitu: asra', 'abdi, dan layl.
Asra' adalah memperjalankan, memindahkan materi dari satu tempat ke tempat lain. Tempat menyatakan satu titik dalam ruang sehingga asra' terkait dengan ruang beserta atributnya.
'Abdi merujuk pada hamba pilihan Allah SWT yakni Nabi Muhammad yang meliputi jiwa, raga, jasmani dan ruhani. Layl mewakili waktu.
Dengan adanya petunjuk di atas, hal ini mengantarkan pada struktur jagat raya yaitu sifat ruang-waktu-cahaya yang berkaitan dengan teori Relativitas Umum Einstein. Melalui teori ini, ruang dan waktu tidaklah stagnan, melainkan merupakan fenomena yang fleksibel, relatif, dan dinamis seperti proses alam semesta lainnya.
"Jadi menurut Einstein jagat raya kita itu melengkung," ujar Agus.
Selain jagat raya itu melengkung, alam semesta juga terus mengembang. Pendapat ini pertama kali diungkapkan oleh Edwin Hubble.
Di masa lalu, alam semesta sangat kecil, padat, dan panas. Sebagaimana balon yang diisi udara, alam semesta kemudian mengembang, membesar, dingin, dan jarak antar galaksi dan materi di dalamnya pun semakin menjauh satu sama lainnya.
Apabila alam semesta diibaratkan balon, maka permukaan bola itulah ungkapan ruang lengkung dua dimensi. Artinya, masih ada dimensi lain, yaitu alam immaterial yang keberadaannya di luar ruang dan waktu alam semesta.
Maka dari itu, tak heran jika perjalanan Mi'raj yang menembus beberapa lapis langit bisa berlangsung dalam waktu yang relatif sangat singkat karena keberadaannya bukan lagi di alam semesta melainkan berada di 'ruang ekstra' alias alam immaterial.
"Jadi perjalanan Rasulullah itu menembus dimensi yang lebih tinggi yaitu langit yang ghaib. Ini sudah berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan," tegas Agus.
(nir/nwy)