Pemerintah berencana membuka lahan pangan seluas kurang lebih 20 juta hektar. Hal ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat hingga pakar.
Sebelumnya, wacana tersebut dilontarkan oleh Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, usai bertemu Presiden Prabowo Subianto. Kendati demikian, ia menepis informasi tersebut.
"Banyak berita hoaks yang mendeskreditkan Pak Presiden Prabowo sebagai seorang yang tidak peduli hutan dan lingkungan hidup. Saya ingin membantah secara tegas bahwa beliau adalah sosok presiden yang peduli sekali dengan hutan," kata Raja Juli kepada awak media di Kupang, NTT, Selasa (14/1/2025) lalu seperti dilansir dari detikBali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun wacana tersebut telah menimbulkan berbagai reaksi. Salah satunya datang dari para pakar UGM yang sepakat jika belum ada urgensi untuk membuka lahan baru secara besar-besaran. Sebaliknya, para pakar mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem pertanian yang saat ini dinilai belum optimal.
Pemugaran 20 Juta Hektar Lahan Belum Dibutuhkan
Pemerhati kebijakan sosial ekonomi pertanian, Prof Subejo, mengatakan kebijakan untuk melakukan alih fungsi lahan sebanyak 20 juta hektar dinilai belum perlu untuk diimplementasikan. Pasalnya, kebutuhan akan energi berbahan dasar kelapa sawit atau bioetanol masih bisa dicukupi dengan jumlah hutan sawit yang ada saat ini.
Selain itu, pembukaan lahan hutan juga memiliki banyak efek samping yang akan dirasakan yang mana sesuai dalam rencana pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan keseimbangan keragaman hayati dan ketersediaan pangan.
Tidak Efisiennya Produksi Pangan Negeri
Subejo menyebutkan banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produksi pangan yang terganggu karena tidak efisiennya penggunaan pupuk, peralatan pertanian masih terbatas, hingga masih minimnya irigasi pertanian.
Selain itu, kondisi sektor pertanian dihadapkan pada usia petani yang semakin menua dan tidak banyak anak muda yang tertarik menjadi petani.
"Tugas yang harus dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat Indonesia usia muda untuk masuk ke dunia pertanian untuk regenerasi," paparnya dalam laman UGM dikutip Minggu (19/1/2025).
Tidak hanya itu, Subejo berpendapat jika tingkat kompetensi SDM petani masih rendah dikarenakan sebagian besar pendidikan petani rata-rata hanya lulusan sekolah dasar.
"Semua faktor tersebut perlu diperbaiki dan dikelola dengan baik akan sangat berpengaruh pada ketahanan pangan Indonesia ke depan," ungkapnya.
Manfaatkan Lahan yang Tidak Produktif
Guru Besar Kehutanan UGM Prof Dr Widyanto Dwi Nugroho mengatakan pemerintah tidak perlu membuka lahan baru. Namun, dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan di hutan yang sudah tidak produktif atau terdegradasi.
"Pembukaan lahan akan lebih tepat apabila memanfaatkan hutan degradasi menjadi produktif dan bisa bermanfaat untuk segi pangan dan lingkungan," tegasnya.
Mengenai program proyek pangan yang dicanangkan pemerintah, Widyanto mengakui hal ini sudah terjadi sejak zaman penjajahan sehingga sangat berpeluang menciptakan kerentanan traumatik. Pembukaan lahan tidak hanya berdampak pada keseimbangan alam tetapi juga keadaan sosial pada masyarakat yang terdampak.
"Pada akhirnya hanya menyebabkan konflik internal dalam masyarakat dikarenakan politik penguasaan tanah. Tanah mereka diambil namun kesejahteraan tidak mereka dapatkan," katanya.
(nir/nwk)