Perayaan Natal identik dengan dekorasi meriah dengan pohon natal yang dilengkapi kerlap-kerlip lampu. Namun, hal ini mungkin tidak bisa detikers temui di Korea Utara.
Korea Utara menjadi salah satu tempat yang paling tidak bersahabat di dunia dalam merayakan Natal. Di sana, Natal sama saja seperti hari-hari lainnya.
Natal tidak pernah dirayakan secara terbuka di Korea Utara sejak Dinasti Kim mengambil tindakan drastis terhadap kebebasan beragama pada tahun 1948. Siapa pun yang terbukti merayakannya akan menghadapi risiko dipenjara atau dapat hukuman yang lebih berat seperti hukuman mati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai keadaan Natal di Korea Utara bisa diketahui dunia dari cerita para pembelot yang berhasil melarikan diri. Sebut saja Jeong Young dan Kang Jimin.
Pengalaman Natal di Korea
Mengutip The Independent, pemerintah Korea Utara terang-terangan menentang Natal. Mereka sangat berusaha keras agar informasi tentang hari raya keagamaan tidak masuk ke negaranya.
Sebenarnya bukan hanya Natal, Korea Utara juga disebut sebagai negara yang anti pada agama terorganisasi. Bagi umat Kristiani yang merayakan Natal, bisa dipenjara, disiksa, atau diperintahkan mati.
Ketidaktahuan tentang Natal dirasakan Kang Jimin. Ia menjelaskan, di negara tetangga Korea Selatan itu masyarakat tidak tahu siapa itu Yesus Kristus.
"Natal adalah hari kelahiran Yesus Kristus, tetapi Korea Utara jelas merupakan negara komunis sehingga orang-orang tidak tahu siapa Yesus Kristus. Mereka tidak tahu siapa Tuhan. Keluarga Kim adalah Tuhan mereka," kata Jimin.
Karena itulah, Jimin mengaku tidak mengenal satu pun penganut Kristen saat tinggal di Korea Utara. Pemerintah di sana mengendalikan semua media dan internet, sehingga orang yang ditemuinya tidak mengenal siapa itu Yesus.
Di negara ini, seseorang tidak bebas mengatakan apa agama mereka. Mereka yang ketahuan akan ditangkap, bahkan dibunuh.
"Anda tidak bisa mengatakan Anda seorang Kristen. Jika Anda melakukannya mereka akan mengirim Anda ke kamp penjara," ceritanya.
"Saya mendengar tentang sebuah keluarga yang percaya kepada Tuhan dan polisi rahasia menangkap mereka. Mereka semua sekarang sudah meninggal bahkan anak-anaknya," tambah Jimin.
Meskipun dilarang, ternyata Korea Utara punya beberapa gereja Kristen yang diresmikan pemerintah. Pusat Basis Data Hak Asasi Manusia Korea Utara (NKDB) memperkirakan ada 121 fasilitas keagamaan di negara tersebut, termasuk 64 kuil Buddha, 52 kuil Cheondoism, dan lima gereja Kristen yang dikendalikan negara.
Jimin menjelaskan walaupun ada, gereja itu hampir mustahil dikunjungi oleh kebanyakan orang. Gereja hanya dibuka untuk tamu-tamu negara.
Kini Jimin telah berhasil melarikan diri dari Korea Utara, tepatnya pada tahun 2007. Prosesnya tak mudah, ia pergi ke China lalu melarikan diri ke Inggris.
Ia kini tinggal di North Malden, daerah pinggiran kota London. Tidak sendiri, ia tinggal bersama 700 warga Korea Utara yang merupakan komunitas Korea Utara terbesar di Eropa.
Cerita yang hampir serupa dibagikan Jeong Young Sil. Young Sil bisa disebut seorang pemuka agama Kristen, di Korea Utara.
Ia sempat membantu orang Kristen melarikan diri ke China sekitar tahun 2002 dan diketahui polisi Korea Utara. Karenanya ia mendapat hukuman sadis, seperti dicabut gigi dan kukunya agar polisi mendapat informasi.
Tetapi tak berhasil, hingga akhirnya sekitar tahun 2007 Young Sil berhasil melarikan diri ke Korea Selatan. Sebagai pemuka agama, Young Sil mengaku banyak gereja bawah tanah di Korea Utara.
Umat Kristen di sana kerap berkumpul di rumah-ruma warga, dalam kelompok yang terdiri dari dua orang agar tetap privat. Sesekali mereka juga berkumpul di kelompok yang besar, tetapi jauh dari radar polisi.
"Kami pergi jauh ke pegunungan di mana tidak seorang pun dapat menemukan kami," ujar Young Sil dikutip dari Time Magazine.
Bukan Natal, Korea Utara Merayakan Ini
Bila berbicara tentang Natal di Korea Utara, kita harus kembali ke awal tahun 1900-an. Kala itu Pyongyang ibu kota Korea Utara dikenal luas sebagai "Yerusalem Timur", karena penuh dengan umat Kristen.
Ketika agama Kristen semakin populer, para jamaah mengadakan doa bersama di depan umum setiap Natal. Namun, setelah Jepang menguasai Korea pada 1910, pemerintah menekankan pertemuan-pertemuan keagamaan.
Sampai akhirnya pada 1950-an tepatnya setelah Perang Korea yang menyebabkan terbagi dua di mana utara yang komunis dan selatan kapitalis perubahan terjadi. Pemerintah Korea Utara mulai melaksanakan eksekusi terhadap ribuan umat Kristen selama tahun-tahun berikutnya.
Natal tidak pernah dirayakan secara terbuka di Korea Utara sejak Dinasti Kim mengambil tindakan drastis terhadap kebebasan beragama pada 1948. Bukan Natal, pemerintah telah menetapkan serangkaian libur nasional lain menuju 25 Desember.
Tanggal 24 Desember, banyak warga Korea Utara merayakan ulang tahun Kim Jong Suk mendiang ibu Kim Jong Il (ayah Kim Jong Un). Pada hari tersebut, masyarakat akan berziarah ke tempat kelahirannya di wilayah Hoeryong.
Tiga hari kemudian, masyarakat Korea Utara merayakan Hari Konstitusi dan libur bekerja. Pada Hari Tahun Baru, Korea Utara menekankan semangat revolusioner.
Pada waktu ini warga akan melakukan prosesi tahunan dengan berjalan ke Istana Peringatan Kumsusan. Di sana mereka memberikan penghormatan kepada jenazah Kim Il Sung (bapak Korea Utara) yang diawetkan.
(det/faz)