Pelarangan Penggunaan Media Sosial di Bawah Umur, Perlukah?

ADVERTISEMENT

Kolom Pakar

Pelarangan Penggunaan Media Sosial di Bawah Umur, Perlukah?

Dr. Firman Kurniawan S - detikEdu
Senin, 16 Des 2024 15:31 WIB
Dr Firman Kurniawan S, dosen pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI)
Foto: (Nograhany Widhi K/detikcom)
Jakarta -

Peristiwanya belum lama berlangsung. Tepatnya, 27 November 2024, Parlemen Australia mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Amandemen Keamanan Daring, Online Safety Amendment, berlaku menjadi undang-undang (UU) di negara itu. Isinya, antara lain menyangkut: umur minimal 16 tahun untuk diizinkan menggunakan media sosial. Mengutip uraian berjudul "Australian Government Bans Social Media for Those Under 16 Years of Age" yang dikemukakan minterellison.co.nz, Desember 2024, pengaturan didasari peningkatan kekhawatiran keselamatan anak di bawah umur 16 tahun, saat berada di ruang online. Bukan hanya paparan konten berbahaya yang dapat dicegah UU, tetapi dampak negatifnya yang berpengaruh terhadap kualitas tidur, peningkatan stres, dan tercurinya perhatian dapat dikurangi.

Penetapan batas umur minimum, dilakukan dengan cara meminta pengembang platform menyusun pencegahan bagi pengguna di bawah umur, membuat akun media sosial. Adanya kegagalan, dapat menyebabkan sanksi denda sebesar AUS$ 49,5 juta ~setara Rp 506.424.600~ bagi pengembang platform. Angka lebih dari setengah milyar rupiah, menyimbolkan keseriusan negara itu menegakkan UU.

Penerapan instrumen sosial, berupa aturan ~yang hasilnya tak langsung dapat dirasakan~ ditanggapi beragam. Spektrumnya mulai bernada keberatan hingga mendukung. Pernyataan berkeberatan, direpresentasikan Profesor Nicholas Carah. Direktur Pusat Budaya dan Masyarakat Digital, University of Queensland. Pernyataannya termuat pada artikel, "Should Social Media be Banned for Children Under 16?". Di bagian pendahuluannya, Carah tak menampik buruknya keadaan di media sosial. Linimasa perangkat ini, tak ubahnya sungai kegilaan yang membingungkan, namun juga memukau. Saat mengakhiri sesi interaksinya dengan media sosial, jarang dirasakan adanya perasaan lebih baik. Ini juga pengalaman pengguna media sosial lain. Merasa mengalami perasaan buruk, setelah menggunakan media sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun langsung melarangnya, bukan tindakan tepat. Pengaturan pemerintah terhadap cara warga negaranya menghabiskan waktu, justru harus diwaspadai. Demikian pula melarang kaum muda memasuki ruang interaksi yang memungkinkannya berkembang, adalah tindakan mundur. Kemunculan media sosial dimulai oleh sekelompok anak muda kreatif. Mereka membuat ruang untuk memuat hal-hal yang ditemukan di sekitarnya. Juga memfungsikannya sebagai perangkat interaksi, ekspresi, maupun penemuan identitasnya. Ibarat rumah pohon, kamar tidur, pusat perbelanjaan, seluruh arena ciptaannya sendiri yang memberikan rasa nyaman. Kadang memang melawan arus, namun jadi tempat berlindung, eksplorasi diri, dan penciptaan imajinasi.

Ketika dalam perkembangan penggunaan media sosial, menempatkan kaum muda jadi sasaran pengiklan ~bertujuan memanipulasi emosi, menipu, dan menjual produk yang membahayakan kesejahteraannya~ justru pemerintah wajib menemukan cara untuk membangun media sosial yang tak melukai kaum muda. Bukannya membatasi, bahkan melarangnya.

ADVERTISEMENT

Ketaksetujuan Profesor Nicholas Carah, tampaknya merupakan bentuk empati pada kaum muda. Yang dengan kreativitasnya, menghasilkan ruang alternatif sesuai identitasnya. Juga tata caranya yang ditentukannya sendiri. Keberadaannya harus didukung. Manakala kelompok dewasa di luarnya, melihat peluang menggunakan media sosial untuk kepentingannya: ajakan mengonsumsi atau meraih dukungan politik, terjadinya dampak buruk tak diatasi dengan mengorbankan ruang ekspresi kaum muda. Juga ketika pemerintah ~kelompok dewasa lain~ menerbitkan UU yang membatasi umur mengakses ruang yang diperlukan kaum muda, merupakan tindakan yang salah sasaran. Pesan yang salah, tak lantas membenarkan pembunuhan pada pembawa pesan.

Kelsey L. McAlister; Clare C. Beatty; Jacqueline E. Smith-Caswell; Jacqlyn L. Yourell; Jennifer L. Huberty, 2024, dalam artikel jurnalnya, "Social Media Use in Adolescents: Bans, Benefits, and Emotion Regulation Behaviors", memberikan pendapat senada dengan Profesor Nicholas Carah. Menurut 5 peneliti ini, media sosial telah jadi bagian tak terpisahkan dari hidup kaum muda. Keterlibatannya yang intensif dengan perangkat, memang telah menimbulkan kekhawatiran munculnya dampak buruk pada kesehatan mental. Namun bereaksi langsung, dengan menerbitkan pembatasan penggunaan media sosial bukan langkah yang tepat.

Terlebih ketika dampak kebijakan itu diteliti lebih lanjut, efektivitas pembatasan bersifat terbatas. Tak ada bukti langsung, penggaruh pembatasan terhadap berkurangnya ancaman kesehatan mental. Pengguna muda, justru memperoleh banyak manfaat dari media sosial. Ini termasuk dalam bentuk peningkatan koneksi sosial, berkurangnya kesepian, tersedianya ruang aman ~terutama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti LGBTQ+~ untuk berinteraksi. Karenanya, daripada membatasi dengan keras penggunaan media sosial, regulasi emosi perlu diajarkan bagi kelompok muda ini, untuk aman di lingkungan sosial digital.


Regulasi emosi itu, meliputi: memilih dengan sadar konten yang hendak dikonsumsinya, mengetahui dengan pasti lawan interaksinya. Juga mampu merespon secara tepat, rangsangan yang dapat memicu emosi. Merespon secara tepat ini, berkaitan dengan munculnya emosi negatif, akibat perbandingan sosial pada konten. Tujuan kaum muda menggunakan media sosial adalah pengendalian dan pengaturan suasana hati. Ini pemahaman dasarnya.

Amnesty International, 2024, ~yang memiliki perhatian penuh pada pencapaian hak azasi manumur~sebelum disahkannya UU Keamanan Online, di tanggal 21 November menerbitkan pandangannya. Seluruhnya tertuang pada "Australia: Authorities Must Effectively Regulate Social Media Instead of Banning Children and Young People". Pandangan institusi yang disampaikan juru kampanyenya, Nikita White, menyebutkan kurang lebih: dibanding melarang anak-anak dan kaum muda menggunakan media sosial, Anthony Albanese lewat pemerintahan yang dipimpinnya, wajib mengatur peningkatkan perlindungan privasi dan data pribadi penggunanya. Ini juga perlu diikuti pengutamaan perlindungan hak asasi para penggunanya.

Perlindungan itu diterapkan untuk memastikan, algoritma platform yang dibangun berdasar konten penggunanya, tak seharusnya memuat profil yang gamblang. Ini ibarat meletakkan sebuah tempat penting di peta digital, posisinya harus disimpangkan beberapa meter. Tujuannya untuk mencegah dijadikan sebagai sasaran tembak yang tepat, oleh pihak yang tak bertanggungjawab. Membangun algoritma sebagai profil yang gamblang, hanya menjadikan kaum muda jadi sasaran tak berdaya, atas tawaran konsumsi maupun tindakan tak relevan lainnya. Seluruhnya justru dapat membahayakan kaum muda.

Berkeberatannya terhadap UU pembatasan umur pengguna media sosial, seraya membela kreativitas yang digagas kaum muda, perlu jua mempertimbangkan pendapat yang mendukung kebijakan itu. Diana Graber, 2024, melalui, "Three Reasons Social Media Age Restrictions Matter" ~walaupun tak secara langsung mengungkap dukungannya~ memberikan tiga alasan yang kuat. Argumentasinya diawali pengungkapan fakta: semua platform media sosial, telah menetapkan batas umur minimum pengguna media sosial. Umur termuda yang diizinkan, 13 tahun. Pembatasan ini menyiiratkan pengakuan pengembang platform, adanya ancaman bagi pengguna media sosial yang belum cukup umur.

Adapun tiga alasan yang diajukan Graber: pertama, anak di bawah umur 13 tahun kecerdasannya belum berkembang hingga puncaknya. Bentuk kecerdasan yang memberinya kemampuan membuat keputusan online, secara tepat. Pada keadaan belum puncak itu, kecerdasan belum memenuhi kebutuhan berpikir abstrak. Absennya kemampuan berpikir abstrak, menyebabkan anak-anak tak sanggup melakukan evaluasi etis terhadap konten yang diterimanya. Juga tak sanggup menilai, konsekuensi atas konten yang diproduksi dan didistribusikannya.

Kedua, anak di bawah umur 13 tahun, belum mampu melindungi data pribadinya. Keadaan jadi runyam, ketika anak berumur kurang dari yang diijinkan itu mengaku telah berumur lebih. Pengumpulan data pribadinya, tak dapat dicegah oleh UU. Pada UU terdapat larangan pengumpulan data untuk anak berumur kurang dari 13 tahun di Amerika, dan kurang dari 16 tahun di Uni Eropa. Ketika pengumpulan tak tercegah, algoritma profil dirinya gamblang tersusun. Ini menjadikan anak-anak sebagai sasaran penawaran pemasaran, juga tindakan tak relevan lainnya.

Ketiga, orang tua yang mengizinkan anak-anak di bawah umur ~yang dipersyaratkan platform media sosial~ turut menormalisasi tindakan berbohong. Walaupun media sosial telah jadi realitas peradaban, namun melanggar dengan memberi umur palsu adalah kebohongan. Menganggapnya bukan persoalan besar, akan menumbuhkan budaya tak jujur pada hal-hal lainnya.

Jika diamati dengan seksama, baik kelompok yang "berkeberatan" maupun "pendukung" pembatasan umur melalui UU, tak menyangkal keadaan memburuk di media sosial. Namun bagi kelompok ini, pengembang platform-lah yang harus bertindak. Ancaman ekonomi, sosial, budaya, termasuk gangguan kesehatan mental harus dikendalikan. Pengembang platform yang memiliki teknologinya Juga, tak seharusnya data pribadi pengguna dimanfaatkan untuk pengawasan maupun peretasan profil sebagai algoritma. Seluruhnya hanya menguntungkan pengembang platform. Maka, alih-alih membatasi umur pengguna ~ini sama artinya dengan memenjarakan pihak yang tak bersalah~ kelompok berkeberatan meminta negara memaksa pengembang platform bertanggungjawab.

Sedangkan "pendukung" UU pembatasan, melihat kegagalan penegakan aturan batasan umur oleh pengembang platform. Karenanya, jika kegagalan itu dinormalisasi, keadaan buruk bakal meluas. Negara berhak membentuk UU yang memaksa pembatasan umur pengguna. Seluruhnya diikuti sanksi yang berat. Namun, walaupun sanksi ditimpakan pada pengembang platform, kebijakan ini lebih merugikan penggunanya. Pengguna dibatasi umurnya. Muncul kerugian yang bukan oleh perbuatannya.

Maka, apa yang harusnya ditempuh pembuat kebijakan di Indonesia, untuk mencegah keburukan media sosial bagi warganya?

Dr. Firman Kurniawan S

Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(erd/erd)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads