Mengenal Era Post Truth, Saat Masyarakat Lebih Percaya Influencer daripada Pakar

ADVERTISEMENT

Mengenal Era Post Truth, Saat Masyarakat Lebih Percaya Influencer daripada Pakar

Cicin Yulianti - detikEdu
Rabu, 06 Nov 2024 09:00 WIB
Influencer vlogging while spending time alone in forest.
Ilustrasi influencer. Foto: iStock/mixetto
Jakarta -

Istilah matinya kepakaran saat ini semakin disorot terutama setelah banyak influencer muncul. Tak sedikit masyarakat yang lebih percaya informasi yang diberikan influencer daripada pakar di bidangnya.

Fenomena tersebut kemudian dinamakan era post truth. Era di mana masyarakat mempercayai informasi sensasional dari influencer yang tak memiliki dasar ilmu ketimbang menanyakan langsung ke pakarnya.

Dijelaskan oleh pakar komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair), Angga Prawadika Aji S IP MA, ada dua faktor utama yang menyebabkan matinya kepakaran atau era post truth muncul.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Post-truth itu berkaitan dengan dua faktor utama. Yang pertama tentang perkembangan politik dan yang kedua tentang popularitas media sosial. Keduanya kemudian mendefinisikan bagaimana post-truth menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya adalah apa yang disebut dengan matinya kepakaran," tuturnya dilansir dari laman Unair, Selasa (5/11/2024).

Media Sosial Menurunkan Nilai Keahlian

Angga melihat media sosial punya pengaruh terhadap nilai keahlian seseorang. Mereka yang tak punya keahlian tapi sering muncul lebih dipercaya daripada pakar yang jarang tampil di media sosial.

ADVERTISEMENT

"Seperti kata Umberto Eco, ahli semiotika. Media sosial kini menjadi sumber masalah besar. Orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas, tidak memiliki expertise kemudian suaranya memiliki bobot yang sama dengan orang yang selama bertahun-tahun memiliki dasar ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan," katanya.

Hal buruknya menurut Angga, masyarakat jadi lebih menilai informasi berdasarkan jumlah likes, views, atau popularitas. Padahal, informasi tak boleh dengan mudah diserap melainkan harus dicek dulu faktanya.

Angga melihat fenomena tersebut dapat mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan di tengah masyarakat. Juga, bisa menjadikan bias antara opini dan fakta.

"Media sosial itu kan berupaya untuk mengkuantisasi perhatian. Mengkuantisasi validasi. Sehingga, ketika kita melihat ada satu opini atau pandangan di media sosial, kemudian konten itu ternyata tidak memiliki like yang banyak. Kita secara otomatis memandang rendah hal tersebut," tuturnya.

Masyarakat Jadi Tergantung pada Influencer

Kekuatan influencer yang sudah memiliki pengikut banyak tentunya tak diragukan lagi. Bahkan, sudah banyak brand terkenal yang meminta mereka mempromosikan produk karena kekuatan personal branding mereka.

Angga mengatakan ketergantungan masyarakat terhadap influencer ini memicu fenomena lain yakni echo chamber. Di mana masyarakat hanya mau mengkonsumsi informasi dari influencer yang mereka sukai saja.

"Echo chamber terjadi ketika masyarakat hanya mau mengkonsumsi informasi yang sesuai dengan keyakinannya saja dan secara aktif menolak informasi apa pun yang berlawanan," papar Angga.

Angga khawatir keberadaan media sosial akan mendorong matinya kepakaran lebih jauh. Terutama jika masyarakat masih minim kemampuan literasi, sehingga akan lebih mudah termakan misinformasi.

"Jika kita tidak segera memperbaiki literasi masyarakat, kita akan menghadapi generasi yang sulit membedakan antara opini populer dan fakta yang valid. Pada akhirnya, ini bisa mengarah pada pembodohan massal. Di mana hanya popularitas yang dipandang sebagai ukuran kebenaran," pungkas Angga.




(cyu/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads