Orang Akan di Kumasi, ibu kota Kekaisaran Asante, membawa timbangan ke mana-mana sekitar tahun 1800. Praktik ini khususnya juga mereka lakukan saat hendak pergi ke pasar.
Kekaisaran Asante terletak di wilayah yang kini menjadi Ghana, Afrika Barat. Kekaisaran ini berdiri pada 1701-1901.
Dikutip dari JSTOR Daily, rupanya orang Akan di Asante saat itu belum mengenal uang kertas dan koin. Alih-alih, mereka menukar barang dengan bubuk emas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membeli Pisang dengan Bubuk Emas
Bubuk emas butuh cara ukur yang teliti agar perdagangan berlangsung adil. Karena itu, mereka harus membawa timbangan, batu atau anak timbangan, dan bubuk emas ke mana-mana.
Baik pembeli maupun penjual membawa sepasang timbangan dan anak timbangan masing-masing. Sambil menimbang bubuk emas, mereka menegosiasikan berat yang layak untuk barang-barang dagang.
Beberapa pisang saat itu dihargai seujung pisau bubuk emas. Bubuk tersebut diambil seperti puyer, lalu disimpan di dalam kantung kain kecil, dikutip dari The African Sketchbook Volume 2 oleh Winwood Reade.
Jika mengantongi bongkahan emas, bongkahan tersebut dipotong dua dengan pisau, lalu digosokkan pada batu uji, dan diperiksa warna garis-garisnya. Bubuknya lalu ditimbang, kadang menggunakan buah beri merah kecil sebagai anak timbangan, kadang dengan batu timbangan asli yang berbentuk hewan.
Timbangan Angin dan Futuo
Kadang, sebuah barang dagangan berharga sangat murah. Karena itu, pedagangnya hanya mendapat sedikit bubuk emas per penjualan. Di sinilah peran timbangan angin.
Seperti namanya, timbangan kecil ini sangat mudah terpengaruh oleh angin karena sangat ringan dan menimbang bubuk emas yang juga ringan.
Pedagang dan pembeli dengan timbangan angin harus menahan diri untuk tidak bersin saat menimbang bubuk emas. Sekali bersin, bubuk emas akan beterbangan. Jika jatuh ke tanah, maka bubuk emas tersebut akan jadi milik Asante. Pihak pemerintahan akan menyapunya dan menggunakannya di masa krisis.
Untuk itu, pembeli dan pedagang juga biasa membawa sikat kecil, macam-macam anak timbangan (mrammuo), sekop, timbangan, dan kotak untuk memastikan bubuk emas mereka beterbangan atau tercecer. Semua perlengkapan ini disimpan di tas yang disebut futuo, seperti dijelaskan peneliti Hartmut Mollat dalam jurnal Anthropos.
Keluarga orang Akan mengajarkan cara merawat perlengkapan futuo pada anak-anaknya sejak kecil. Beberapa orang memiliki lebih dari satu futuo, satu untuk jual-beli barang sehari-hari dan lainnya untuk jual-beli barang mahal atau banyak.
Membeli perlengkapan untuk bubuk emas dan futuo butuh biaya. Orang-orang yang tidak mampu membelinya akan menimbang harga barang yang ia beli dengan kancing dan bulir-bulir beras, dikutip dari Golweight of Asante oleh MD McLeod dalam jurnal African Arts.
Anak Timbangan dan Peribahasa
Sekilas, batu timbangan atau anak timbangan orang Akan hanya seperti dekorasi. Pemberat mrammuo sebesar bidak monopoli ini bentuknya macam-macam, mulai dari bunglon, singa, ikan, tukang jagal, pemburu, sendal, kotak, papan permainan, kaki burung, kacang, dan capit kepiting.
Mrammuo dibuat oleh pengrajin khusus karena ukurannya sangat kecil seperti miniatur. Beratnya juga harus akurat untuk dipakai dalam transaksi dagang. Tanda mrammuo sudah diuji adalah sejumlah bagiannya dikikir untuk memperbaiki beratnya.
Namun, rupanya orang Akan menyelipkan peribahasa dan kiasan budaya setempat pada pemberat tradisional ini. Mrammuo berbentuk buaya kepala empat dengan satu perut, misalnya, memiliki makna bahwa kendati semua anggota keluarga punya minat yang sama, mereka tidak akan berhenti bertengkar.
Pemakaian peribahasa pada peralatan alat tukar juga menunjukkan bahwa orang Akan cenderung memilih kata halus sebagai bentuk hormat pada lawan bicaranya.
Menguji Emas
Semua pabrik di kawasan pantai setempat saat itu punya pekerja pengambil emas. Mereka yang memberi jaminan keaslian pada agen.
Emas-emas tersebut mereka kelola dan rilis seperti petugas bank modern. Praktik mereka memudar saat kargo dengan proses uji semi ilmiah muncul.
(twu/nwy)