Perang Diponegoro adalah konflik yang terjadi antara Pangeran Diponegoro dengan pemerintah kolonial Belanda pada 1825. Perang ini dipicu oleh pemasangan patok pada makam leluhur Diponegoro yang dilakukan oleh Belanda. Tindakan tersebut memicu kemarahan Diponegoro dan akhirnya menyebabkan perang selama lima tahun yang juga dikenal sebagai Perang Jawa.
Pangeran Diponegoro atau yang memiliki nama Bendoro Raden Mas Mustahar merupakan putra sulung dari Sultan Hamengku Buwono III, yakni Raja dari Kesultanan Yogyakarta. Setelah ayahnya naik tahta, Bendoro Raden Mas Ontowiryo kemudian dikenal sebagai Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro atau kerap disapa Pangeran Diponegoro.
Perang Diponegoro setidaknya telah memakan ribuan korban, baik pasukan Belanda maupun pribumi. Bahkan, dikatakan bahwa hampir separuh penduduk Yogyakarta berkurang akibat perang Diponegoro. Namun, perang ini berhasil menguras tenaga, waktu dan kas Belanda dalam jumlah yang sangat besar. Lantas, bagaimana sejarah terjadinya perang Diponegoro?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut latar belakang, kronologi dan dampaknya.
Latar Belakang Perang Diponegoro
Menurut buku Peperangan dan Serangan (2017) karya Tjahjawulan, perang Diponegoro pada mulanya dipicu oleh pemasangan patok di sekitar tanah leluhur Diponegoro untuk membangun jalan di Tegalrejo. Pemasangan ini dilakukan atas perintah Residen Smissaert, yakni wakil pemerintah Hindia Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Meskipun begitu, kemarahan Diponegoro sebenarnya sudah muncul jauh sebelum terjadi pemasangan patok oleh pemerintah Hindia Belanda. Sejak awal 1800-an, Pemerintah Hindia Belanda telah berupaya menanamkan pengaruhnya di Jawa, wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.
Adanya campur tangan Belanda kian memicu kemarahan Diponegoro ketika terjadi pengangkatan Hamengkubuwono V yang saat itu dinilai belum cukup umur. Pengangkatan ini tidak lepas dari pengaruh pemerintah Hindia Belanda dalam mencampuri urusan keraton.
Selain itu, adanya pemberlakuan pajak yang tinggi oleh pemerintah Hindia Belanda semakin memicu kemarahan Diponegoro karena menyengsarakan rakyat. Misalnya, pintu rumah dikenakan bea pacumpleng, pekarangan rumah dikenakan bea pengawang-awang, bahkan pajak jalan pun dikenakan bagi tiap orang yang melintas, termasuk barang bawaannya.
Puncak konflik terjadi ketika pemerintah Hindia Belanda, melalui Residen Smissaert, memasang patok di tanah leluhur Diponegoro. Hal ini memicu terjadinya Perang Diponegoro pada pertengahan Juli 1825 saat Diponegoro dan pengikutnya yang berjumlah sekitar 1.500 orang bersatu melawan Belanda.
Kronologi Perang Diponegoro
- 20 Juli 1825, setelah terjadinya pemberontakan yang dipimpin oleh Diponegoro, Residen Smissaert mengirimkan surat panggilan kepada Diponegoro untuk datang ke loji dan bertanggung jawab.
- 21 Juli 1825, karena Diponegoro tidak memenuhi panggilan, Residen Smissaert marah dan memerintahkan pasukan Belanda untuk menangkap Diponegoro serta menghancurkan Tegalrejo.
- 21 Juli 1825, perang Jawa dimulai.
- 21 September 1829, Jenderal de Kock mengumumkan hadiah sebesar 20.000 gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, baik hidup maupun mati.
- 17 Oktober 1829, beberapa pimpinan pasukan Diponegoro menyatakan menyerahkan diri dan menghentikan permusuhan.
- 9 Februari 1830, Kolonel Cleerens mengutus empat orang kepercayaan Diponegoro untuk mengajak Diponegoro membuat perjanjian damai bersama Jenderal de Kock.
- 16 Februari 1830, Diponegoro tiba di Desa Remokawal dan setuju untuk berunding dengan Jenderal de Kock. Namun, ia malah ditangkap oleh pasukan Belanda.
- Setelah ditangkap, Diponegoro dibawa ke Semarang, kemudian diangkut ke Batavia dan dihadapkan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch. Dari Batavia, Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam, selanjutnya Makassar hingga wafat pada 8 Januari 1855.
Dampak Perang Diponegoro
Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun berhasil menguras waktu, tenaga, dan kas pemerintah Hindia Belanda. Belanda saat itu memerlukan sekitar 1.000 orang per hari untuk mempersiapkan logistik perang dalam melawan Diponegoro.
Tercatat hingga April 1827, terdapat sekitar 1.603 atau sekitar 27 persen dari 6.000 pasukan Belanda yang tewas melawan Diponegoro. Bahkan, pada 1828, Belanda harus mengerahkan sekitar 24.448 pasukannya beserta 1.133 ekor kuda untuk merebut wilayah Mataram, Bagelen, dan Ledok.
Mengutip buku Jejak Pangeran Diponegoro (2022) yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta, perang Diponegoro tercatat menelan korban sekitar 8.000 pasukan Belanda dan 7.000 pasukan pribumi. Bahkan, disebutkan bahwa separuh penduduk Yogyakarta berkurang akibat perang Diponegoro.
Dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro, secara tidak langsung menandakan penguasaan mutlak pemerintah Kolonial Belanda atas tanah Jawa. Hal ini ditandai dengan tunduknya Raja dan Para Bupati Kesultanan Yogyakarta kepada Belanda.
Penguasaan Belanda atas tanah Jawa setelah Perang Diponegoro menjadi landasan untuk mendominasi seluruh Nusantara hingga akhir masa kolonial.
(nah/nah)