Perang Dunia I berlangsung pada 1914-1918. Perang ini mempertemukan Blok Sentral (Jerman, Austria-Hungaria, dan Turki) dengan Sekutu (Prancis, Inggris Raya, Rusia, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat).
Selama terjadinya perang, sekitar 8,5 juta tentara gugur dan turut menewaskan 13 juta warga sipil. Perang ini juga menyebabkan jatuhnya empat dinasti besar kekaisaran di Jerman, Rusia, Austria-Hungaria, dan Turki. Serta jadi pemantik bagi Perang Dunia II.
Oleh sebab itu, perang ini dikenal sebagai "The Great War" yang jadi titik balik sejarah geopolitik pada abad ke-20. Akan tetapi, apa penyebab pecahnya Perang Dunia I? Simak di sini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebab Terjadinya Perang Dunia I
Mengutip buku Tragedi Perang Dunia I 1914-1918: Konflik, Intrik, dan Dampaknya oleh Anna Mutmainah, Perang Dunia I secara umum dipicu oleh berbagai permasalahan kompleks di antara negara-negara Eropa disebabkan oleh sejumlah faktor kompleks. Berikut penjelasannya:
1. Tujuan Keuntungan Masing-masing Negara
Beberapa negara di Eropa memanfaatkan ketegangan antara Austria-Hungaria dan Serbia untuk keuntungannya sendiri. Contohnya, sejumlah negara itu berharap memperoleh kendali atas pasar bahan mentah untuk aktivitas industri dalam negeri mereka dengan terjadinya perang.
Jerman, Prancis, dan Britania Raya berharap menjadi kerajaan terbesar untuk menguasai dunia. Terjadilah ketegangan di antara ketiga negara sekitar tahun 1905-1911. Dengan memanfaatkan kelemahan negara yang terlibat, Perang Dunia I dianggap sebagai pintu bagi ketiganya untuk mencapai tujuan masing-masing.
2. Militerisme Antar Negara
Negara Eropa seperti Britania Raya dan Jerman berlomba-lomba dalam mengembangkan militer dan persenjataan masing-masing. Saat militer Jerman semakin menguat, Britania Raya merasa terancam. Akhirnya saling mendorong keduanya untuk terus memperkuat militernya.
Persaingan militer keduanya lah yang memicu terjadinya perpecahan sampai persaingan sebelum masa Perang Dunia I. Kebijakan peningkatan militer diikuti pula oleh negara lain, seperti Rusia.
Di sisi lain, Prancis juga berupaya membalas kekalahannya saat melawan Jerman pada peperangan 1871 dengan turut meningkatkan kekuatan militernya.
3. Sikap Nasionalisme Antar Negara
Rasa nasionalisme sebagian masyarakat Eropa memicu terjadinya Perang Dunia I. Kala itu, rakyat Slavia dan Herzegovina menginginkan kebebasan dengan mendirikan pemerintahan sendiri di Serbia dan terlepas dari Austria-Hungaria serta Kekaisaran Ottoman. Sehingga sikap mereka itu memicu ketegangan dengan Austria-Hungaria.
Serbia berhasil merdeka dari Balkan sejak 1878 dan memenangkan pertempuran sepanjang tahun 1912-1913. Serbia selanjutnya ingin merebut Bosnia dari tangan Austria-Hungaria dan menjadikannya sebagai wilayah kekuasaan.
Keinginan Serbia untuk mendapatkan Bosnia ternyata memicu perang yang lebih besar. Setelah sebagian kelompok nasionalisnya membunuh Franz Ferdinand beserta istrinya. Pemerintahan Austria-Hungaria pun meminta pertanggungjawaban kepada Serbia atas kematian pewaris takhta kekaisaran mereka dengan menyatakan perang pada 28 Juli 1914.
4. Imperialisme Negara
Beberapa negara Eropa memiliki paham imperialisme, yaitu menginginkan perluasan wilayah kekuasaan serta peningkatan keuntungan. Sebab itu, mereka menginvasi sejumlah wilayah di Afrika dan Asia yang juga memiliki keinginan untuk menguasai negara dengan kekuatan dan kekayaan lebih besar.
Konflik pun muncul dan masing-masing negara pada akhirnya berlomba memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi dan luas.
5. Terbentuknya Aliansi
Jerman membentuk aliansi sebagai upaya mencegah terjadinya perang di masa depan. Negara tersebut khawatir aliansi Prancis akan menggulingkan kekuatan mereka sehingga Jerman memutuskan bekerja sama dengan Austria-Hungaria. Keduanya membentuk Triple Alliance dengan Italia ikut tergabung di dalamnya.
Di sisi lain, aliansi Britania Raya dan Prancis menggandeng Rusia untuk menahan kekuatan Jerman. Sehingga ketiganya bergabung dalam Triple Entente.
Triple Alliance yang telah dibangun jauh sebelum perang dunia, sekitar 1882, inilah yang jadi cikal bakal Blok Sentral. Sementara Triple Entente yang sudah berdiri sejak 1894 menjadi kelompok Sekutu. Kedua kubu pun bertemu di Perang Dunia I.
Kekuasaan kedua kubu meluas dengan bergabungnya beberapa negara lain dalam aliansi mereka. Italia, Yunani, Portugal, Rumania, dan Amerika Serikat yang bergabung dengan Triple Entente atau Blok Sekutu. Sementara Blok Sentral kedatangan Turki Ottoman dan Bulgaria.
6. Berkembangnya Paham Etnosentris
Secara umum, paham etnosentrisme adalah paham yang memandang budaya negara lain lebih rendah darinya. Sehingga menganggap budaya di negaranya lebih baik dari negara lain.
Munculnya pandangan merasa lebih unggul dibanding negara lain ini memicu konflik antar negara di Eropa yang saling bersaing kekuatan. Contohnya, Jerman yang menguasai setiap wilayah yang menurutnya menguntungkan tanpa memperdulikan dampak yang dialami daerah yang dikuasainya itu.
Paham ini juga juga dimiliki negara Eropa lain, seperti Rusia, Ukraina, dan beberapa wilayah di Semenanjung Balkan. Tingginya paham etnosentris ini memicu krisis antar negara yang mengarah ke peperangan besar.
7. Perang Sebelum Perang Dunia I
Hadirnya perang dunia seolah membukakan jalan bagi negara-negara kalah perang untuk melancarkan serangan balasan. Sebagaimana Rusia yang gagal mendapatkan Bosnia saat Perang Balkan pada 1908.
Begitu juga ketika Britania Raya memilih tak mendukung Jerman saat hendak meluncurkan serangan kepada Prancis. Itu artinya, Britania Raya rela menjadi tameng bagi Prancis, Rusia, dan Serbia ketika diserang Jerman.
Alasan Berakhirnya Perang Dunia I
Dilansir History.com, Perang Dunia I berakhir dengan gencatan senjata alih-alih menyerah. Bagi kedua kubu, kesepakatan menghentikan pertempuran ini merupakan cara tercepat untuk mengakhiri penderitaan akibat perang.
Selama empat tahun saling serang, baik Blok Sentral maupun Sekutu hampir kehabisan tenaga. Serangan kepada Jerman pada 1918 telah menimbulkan banyak korban usai Britania Raya, Prancis, dan Amerika Serikat memukul mundur tentara mereka.
Situasi politik dan militer Jerman sudah cukup lemah serta kondisi para warga dan tentaranya semakin memburuk setiap jamnya. Rekanan Jerman pun telah hancur, sehingga sebenarnya hasil perang sudah jelas.
Namun kedua belah pihak siap menghentikan konflik paling berdarah dalam sejarah manusia itu, sebab invasi ke Jerman membutuhkan terlalu banyak logistik, sumber daya, dan moral.
Jerman sebetulnya sudah coba membuat pendekatan gencatan senjata sejak awal Oktober 1918 melalui presiden AS, namun tidak berhasil. Percobaan selanjutnya, Jerman pun meminta izin untuk mengirim delegasi kepada Sekutu untuk menegosiasikan lebih lanjut perihal gencatan senjata. Akhirnya, pertemuan berlangsung pada 8 November.
Tidak banyak negosiasi terjadi hingga Jenderal Prancis Maxime Weygand membacakan persyaratan yang telah diputuskan Blok Sekutu bahwa Jerman harus melucuti seluruh senjata yang dimiliki.
Perjanjian gencatan senjata pun ditandatangani dengan beberapa perubahan kecil, termasuk membiarkan Jerman menyimpan beberapa persenjataan mereka. Di dalam kesepakatan, Jerman dari Blok Sentral antara lain menyetujui untuk:
- Menarik pasukan dari Prancis, Belgia, dan Luksemburg dalam waktu 15 hari atau berisiko menjadi tawanan Sekutu.
- Menyerahkan persenjataan, meliputi 5.000 artileri, 25.000 senapan mesin, 1.700 pesawat terbang.
- Menyerahkan akomodasi angkutan, berupa 5.000 lokomotif kereta api, 5.000 truk, dan 150.000 gerbong.
- Menyerahkan wilayah Alsace-Lorraine yang diperebutkan kedua kubu.
- Menerima penghinaan dari pasukan Sekutu yang menduduki wilayah Jerman di sepanjang Sungai Rhine, lokasi mereka akan tinggal sampai tahun 1930.
Persyaratan yang diberikan Sekutu tergolong berat lantaran mereka harus merasa mengalahkan Jerman meski perang berakhir dengan gencatan senjata. Ada anggapan juga syarat yang diberikan supaya musuh tidak cukup kuat untuk memulai perang dalam waktu dekat.
Pada Juni 1919, dokumen perdamaian ditandatangani pada akhir Perang Dunia I di Istana Versailles, Prancis. Perjanjian Versailles secara resmi menjadi akhir dari perang yang menelan jutaan korban itu.
Namun di dalam perjanjian, Jerman yang dianggap kalah dipaksa menerima persyaratan berat lain, termasuk membayar ganti rugi berjumlah USD 37 miliar kala itu. Nominalnya kini setara dengan USD 492 miliar atau Rp 7.770 triliun. Penghinaan dan rasa pahit yang dirasakan Jerman memicu dendam dan membuka jalan bagi Perang Dunia II pada dua dekade setelahnya.
(azn/inf)