Pelaku kejahatan kerap menyembunyikan korbannya yang tak bernyawa agar kasusnya makin sulit diusut. Menguburkan korban di tanah, di perairan, tong sampah, maupun di balik di dinding merupakan sejumlah langkah yang diambil penjahat.
Baru-baru ini, peneliti mengusung inovasi pengungkapan lokasi penguburan korban kejahatan yang masih belum ditemukan. Caranya yakni mengunakan pencitraan bawah tanah dengan alat-alat geologi dan metode geofisika. Seperti apa?
Mencari Korban Kejahatan di Balik Tanah
Tim peneliti ilmu forensik, arkeologi, dan kriminolog forensik dari sejumlah kampus Australia mengungkap, radar penembus tanah dan tomografi resistivitas listerik (ERT) rupanya bisa dimanfaatkan dalam investigasi forensik. Mereka mengunakan teknik geofisika untuk mengintip sifat fisik material yang ada di bawah tanah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya, teknik ini dipakai insinyur, geolog, dan arkeolog untuk mengintip apa yang ada di bawah permukaan Bumi. Pemakaian untuk investigasi forensik tidak lazim karena susah untuk mendeteksi mayat secara langsung dengan metode ini.
Tim peneliti pun mengakali penggunaan teknik teknik mengintip bawah tanah itu untuk melihat perbedaan antara tanah yang mengalami perubahan dan tanah yang tidak mengalami perubahan di sekitarnya. Jika teknik tersebut menemukan adanya tanah yang berubah atau keberadaan cairan tubuh jenazah, maka akan muncul data anomali pada hasil pengumpulan data.
"Untuk mengetahui apakah anomali itu serius, peneliti dapat mempertimbangkan ukuran, bentuk, dan kedalamannya sehingga dapat memastikan korelasinya dengan jasad manusia," jelas peneliti, dikutip dari The Conversation.
Uji Coba dengan Bangkai Babi
Peneliti lalu menguji metode mereka di Fasilitas Penelitian Tafonomik Australia (AFTER). Tempat ini merupakan satu-satunya fasilitas penelitian forensik Australia dengan memanfaatkan jenazah donor.
Di area kosong, lima ekor bangkai babi dikuburkan dalam berbagai bentuk yang menyerupai kuburan rahasia. Contohnya seperti kuburan dangkal, kuburan sedang, kuburan dalam, dan kuburan massal.
"Kami menggunakan babi karena mereka adalah analog tubuh yang baik dalam hal ukuran dan berat manusia," tulis peneliti.
Kuburan-kuburan babi tersebut diperiksa dengan radar penembus tanah dan ERT sebelum dan setelah penguburan. Kuburan itu lalu dicek lagi pada rentang 1, 8, 14, dan 20 bulan setelah penguburan.
Peneliti mendapati, metode mereka dapat digunakan dengan hasil yang turut dipengaruhi ukuran, kedalaman, dan lama pekuburan, serta jumlah curah hujan sebelum pemeriksaan dilakukan.
Rupanya, percobaan pengunaan radar dan ERT pada kuburan manusia di AFTER juga memberikan hal yang tidak tampak jelas berbeda. Ini artinya, hasil pengujian pada kuburan babi valid bagi investigasi forensik korban manusia ke depannya.
"Ini hasil yang sangat penting karena berarti kami bisa menguji lebih lanjut alat ini di Australia dan seluruh dunia tanpa terhalang oleh akses pada donor jenazah yang sangat terbatas," jelas peneliti.
Peneliti mengatakan, penelitian sejenis sebelumnya dilakukan di Inggris, AS, dan Amerika selatan. Penelitian terbaru mereka yang dipublikasi di jurnal Remote Sensing ini dilakukan di Australia dengan menambah teknik dan sistematika, serta jumlah pengamatan lanjutan berkala dari studi di Australia sebelumnya.
Para peneliti berencana akan menggunakan instrumen geofisika terbaru untuk memantau kelembapan di dalam kuburan dalam studi lebih lanjut.
"Kami yakin penggunaan alat-alat ini dapat meningkatkan peluang menemukan korban yang hilang dan terbunuh. Dengan begitu, kami dapat memberikan jawaban kepada keluarga dan orang-orang terkasih mereka, dan meningkatkan peluang untuk mengadili para pembunuh mereka," tutur peneliti.
Artikel asli di The Conversation ditulis oleh Dosen Ilmu Forensik Deakin University Victoria Berezowski, Profesor Madya Ilmu Arkeologi Flinders University Ian Moffat, dan Kriminolog Forensik University of Newcastle Xanthe Mallet. Tulisannya direpublikasi di laman Flinders University.
(twu/nah)