Siapa sangka Oxford yang kini dikenal sebagai kota tempat kampus top dunia berada, dulunya menyimpan peristiwa tragis. Ratusan tahun lalu, Oxford memiliki catatan tingkat pembunuhan yang cukup tinggi. Apa penyebabnya?
Berdasarkan penelusuran mendalam terhadap dokumen-dokumen sejarah, ditemukan bahwa pada akhir periode abad pertengahan, sekitar abad ke-14 M, Oxford memiliki tingkat pembunuhan per kapita 4 sampai 5 kali lebih tinggi dibandingkan kota berpenduduk tinggi seperti York dan London.
Fakta ini dikumpulkan melalui situs interaktif yang diluncurkan oleh Pusat Penelitian Kekerasan Universitas Cambridge. Situs web interaktif bernama Medieval Murder Maps ini resmi terbit pada Kamis (28/9/2023) lalu. Situs tersebut disusun dari sebuah peta persebaran yang diterbitkan pada tahun 2018.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelaku Pembunuhan
Melansir laman Science Alert, diketahui, dari peta tersebut terdapat daftar koroner dan catatan investigasi kejahatan kekerasan yang ditulis dalam bahasa Latin.
Catatan ini mencakup siapa (pelaku dan korban, jika diketahui), lokasi, senjata, dan rincian kejahatan. Melalui Peta Pembunuhan Abad Pertengahan, 75% pelaku pembunuhan memiliki latar belakang yang dikenal "clericus" (dalam bahasa Indonesia: pendeta) yaitu istilah untuk mahasiswa atau anggota Universitas Oxford. Adapun 72% korban merupakan golongan pemuka agama.
Para peneliti kemudian menyematkan rincian tersebut dalam peta kontemporer yang direkonstruksi oleh Historic Towns Trust.
Situs tersebut kini memiliki rincian 354 pembunuhan di tiga kota tersebut, mengenai kecelakaan, kematian mendadak, kasus-kasus gereja suaka, dan kematian di penjara.
Seperti Apa Kota Oxford pada Abad Pertengahan?
Menurut Manuel Eisner, Direktur Institut Kriminologi Cambridge, menyatakan bahwa pada masa pertengahan Oxford menjadi kota perguruan tinggi yang memiliki beragam kondisi mematikan.
"Mahasiswa Oxford semuanya laki-laki dan berusia 14 hingga 21 tahun, yang merupakan puncak kekerasan dan pengambilan risiko. Mereka adalah pemuda yang terbebas dari kendali ketat keluarga, paroki, atau serikat pekerja, serta masuk ke dalam lingkungan yang penuh dengan senjata, dengan akses yang luas ke rumah minum dan pekerja seks," kata Eisner.
Kasus-kasus pembunuhan di Inggris pada abad pertengahan ternyata diperlakukan dengan cara yang sama seperti saat ini.
"Ketika seorang tersangka korban pembunuhan ditemukan di Inggris pada akhir abad pertengahan, petugas pemeriksa mayat akan dicari, dan juru sita setempat akan membentuk tim khusus untuk menyelidikinya," jelas Eisner.
Menurutnya, tim penyelidik biasanya terdiri dari orang-orang lokal yang bereputasi baik. Tugas mereka adalah menentukan jalannya peristiwa dengan mendengarkan saksi, menilai bukti, kemudian menetapkan tersangka.
Namun, tidak ada jaminan bahwa pelakunya diadili. Sementara tingkat kejahatan di Oxford sungguh luar biasa. Saat itu, Oxford berpenduduk sekitar 7.000 jiwa dan sekitar 1.500 di antaranya adalah pelajar.
Pelajar Laki-Laki Memiliki Akses pada Senjata
Stephanie Brown, rekan kriminolog sejarah dari Universitas Cambridge, juga menemukan bahwa tingkat pembunuhan di Oxford saat itu berkisar antara 60 hingga 75 orang per 100.000 orang per tahun.
Jumlah tersebut sangat besar dibandingkan dengan tingkat pembunuhan di kota-kota Inggris saat ini. Bahkan angka tersebut 50 kali lebih tinggi dibandingkan tingkat pembunuhan saat ini yang tidak lebih dari 20 pembunuhan per juta jiwa di Inggris.
Para peneliti mengatakan bahwa tingginya tingkat kejahatan mungkin disebabkan oleh banyaknya laki-laki muda yang berkumpul di satu tempat. Hal ini karena pada masa itu, perempuan tidak bersekolah.
Di sisi lain, para pelajar laki-laki banyak yang bermabuk-mabukan dan memiliki akses senjata yang mudah.
"Pisau ada di mana-mana dalam masyarakat abad pertengahan. Thwytel adalah pisau kecil, seharga satu sen, dan digunakan sebagai alat makan atau tugas sehari-hari. Kapak adalah hal yang lumrah di rumah untuk memotong kayu, dan banyak pria membawa tongkat," ungkap Brown.
Pekerja seks juga bisa menjadi korban kejahatan, seperti kasus-kasus perempuan miskin yang dibunuh dengan kekerasan sebab mereka melawan karena tidak diberi gaji yang sesuai.
"Kehidupan di pusat kota abad pertengahan bisa jadi sulit, namun bukan berarti tanpa hukum. Masyarakat memahami hak-hak mereka dan menggunakan hukum ketika konflik muncul. Setiap kasus memberikan gambaran sekilas tentang dinamika yang menciptakan ledakan kekerasan di jalanan di Inggris. (Seperti) sekitar tujuh abad yang lalu, " tutur Eisner.
(faz/faz)