Baru-baru ini, tim peneliti berhasil memastikan identitas orang hilang di ekspedisi ke Kutub Utara tahun 1845 dengan tes DNA. Ia teridentifikasi sebagai James Fitzjames, perwira yang bantu memimpin 105 orang selamat dari tenggelamnya kapal HMS Erebus di ekspedisi tersebut.
Peneliti mencocokkan sampel DNA keturunannya yang masih hidup dengan DNA kerangka yang ditemukan di situs arkeologi di Pulau King William, Kanada. Di tempat itu, 451 tulang dari sekitar 13 pelaut ekspedisi 1845 ditemukan.
"Kami bekerja dengan sampel berkualitas baik yang memungkinkan kami menghasilkan profil kromosom Y, dan kami cukup beruntung untuk mendapatkan kecocokan," kata Stephen Fratpietro dari laboratorium Paleo-DNA Lakehead University, Kanada, dikutip dari laman University of Waterloo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fitzjames merupakan orang kedua dari 105 orang yang teridentifikasi positif dari ekspedisi nahas tersebut. Sebelumnya, teknisi kapal HMS Erebus, John Gregory, berhasil diidentifikasi pada 2021.
"Identifikasi sisa-sisa Fitzjames memberikan wawasan baru tentang akhir ekspedisi yang menyedihkan," kata Dr Douglas Stenton, adjunct professor antropologi di University of Waterloo.
Kisah Ekspedisi ke Kutub Utara yang Naas
Pada Mei 1845, kapal HMS Terror dan HMS Erebus meninggalkan Inggris ke tempat yang kini disebut Nunavut, Kanada Utara. Mereka hendak mencari Lintasan Barat Laut (Northwest Passage), rute laut penting antara Samudra Atlantik dan Pasifik.
Kapten Sir John Franklin memimpin ekspedisi Lintasan Barat Laut 1845. Ia seorang penjelajah kutub berpengalaman, sudah memimpin dua ekspedisi sebelumnya di area lintasan tersebut, dikutip dari laman Royal Greenwich Museum.
Berdasarkan penjelajahan di garis pantai Arktik, Kutub Utara, para penjelajah optimis mereka akan menemukan dan memetakan bagian terakhir dari Lintasan Barat Laut. Dengan begitu, jalur laut penghubung Samudra Atlantik dan Pasifik ini bisa dicapai.
Kapal HMS Erebus dan Terror dinilai sangat kuat dan mewah pada masanya. Keduanya punya sistem pemanas dan banyak persediaan makanan yang diawetkan.
Kedua kapal masih terlihat pada akhir Juli di tahun yang sama oleh pemburu paus di Teluk Baffin, penghubung Samudra Atlantik dan Samudra Arktik.
Para awak kapal mereka tampaknya menunggu es hilang di Lancaster Sound sehingga bisa melanjutkan perjalanan ke Selat Bering, antara Semenanjung Chukchi di Rusia barat dan Alaskan di Amerika Serikat timur. Selat Bering menghubungkan Samudra Arktik Utara dan Samudra Pasifik.
Namun, momen tersebut rupanya kali terakhir 129 awak kapal HMS Erebus dan Terror terlihat masih hidup.
Orang Hilang di Kutub Utara
Lebih dari 30 misi pencarian dan penyelamatan orang hilang dikirim ke Arktik untuk menemukan awak kapal HMS Erebus dan Terror hingga 1880. Sejumlah jejak awak kapal baru tampak pada 1850.
Pada 1850, jejak kemah musim dingin pertama kru Franklin di Beechey Island ditemukan, tapi mereka masih tidak ditemukan. Atas desakan dan kritik warga, Pemerintah Inggris menawarkan hadiah 20 ribu poundsterling bagi yang dapat memberikan informasi. Dua puluh ribu pound pada 1850 setara dengan 3,3 juta pound saat ini, atau Rp 68 miliar.
Analisis pada jejak objek seperti kaleng, kacamata salju, dan alat makan menunjukkan bahwa sejumlah kru kapal meninggal akibat penyakit dan kelaparan.
Bukti Catatan
Pada 1854, Dr John Rae mengabarkan bahwa orang Inuit, orang asli Kutub Utara dan sekitarnya, mengatakan ekspedisi itu berakhir di sebelah barat Back River, Northwest dan Nunavut, Kanada.
Pada 1859, selembar kertas catatan ekspedisi ditemukan di Victory Point, King William Island, Kanada. Kertas formulir standar Angkatan Laut tersebut berisi tulisan tangan yang menyatakan kapal-kapal mereka terjebak di es sejak 12 September 1846. Para anggota tim ekspedisi meninggalkan kapal per tanggal 22 April 1848.
Sebanyak 105 perwira dan awal kapal dipimpin Kapten FRM Crozier berjalan kaki menuju Back's Fish River (kini Back River). Berdasarkan catatan tersebut, John Franklin sudah meninggal pada 11 Juni 1847.
Kurator pameran senior Royal Museum Greenwich, Claire Warrior, mengatakan kapal-kapal kru Franklin tersebut terjebak di area es Tununiq. Orang asli Inuit sendiri jarang pergi ke wilayah tersebut.
Akibatnya, awak kapal tidak bisa bergantung pada warga setempat untuk makanan, pakaian, dan minyak. Yang mereka punya adalah pemanas di kapal dan pasokan makanan untuk 3 tahun sepanjang 1845-1848. Jika keluar dari kapal, mereka harus menghadapi suhu -35 derajat C di siang hari dan hingga -48 derajat C di malam hari.
Penemuan Sisa Jasad dan Peninggalan
Lebih dari 100 tahun kemudian, antropolog Dr Owen Beattie dan rekan-rekan mengumpulkan barang-barang peninggalan beserta sisa jasad kru ekspedisi yang ditemukan di King William Island, Kanada.
Analisis forensik saat itu menunjukkan kaleng-kaleng makanan tim ekspedisi sudah terkontaminasi timah solder. Bahan tersebut digunakan menyegel kaleng. Berdasarkan tingkat timbal yang tinggi di sisa jasad, peneliti Beattie memperkirakan kasus keracunan timbal juga memperburuk nasib ekspedisi tersebut.
Sisa jasad Fitzjames dan rekan-rekan pelaut lainnya kini dimakamkan di situs peringatan di King William Island, Kanada.
Hasil studi identifikasi Fitzjames dipublikasi di Journal of Archaeological Science: Reports. Penelitian tersebut didanai oleh Pemerintah Nunavut dan University of Waterloo.
(twu/pal)