Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi kenaikan angka golongan masyarakat rentan miskin dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56% dari total penduduk, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024.
Selain itu, terjadi juga peningkatan kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk.
Peningkatan jumlah kedua kelompok tersebut bersumber dari golongan kelas menengah yang turun kelas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.
"Bahwa memang kami identifikasi masih ada scarring effect dari Pandemi Covid-19 terhadap ketahanan dari kelas menengah," ucap Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Air Galon Bisa Bikin Jutaan Warga Menengah RI Jatuh Miskin?
Ekonom senior yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, menyatakan bahwa penurunan tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh pandemi Covid-19 dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurutnya, kebiasaan sehari-hari mengkonsumsi air kemasan, seperti galon, juga menjadi salah satu faktor berkurangnya pendapatan kelas menengah secara signifikan.
"Selama ini secara tidak sadar itu sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol dan segala macamnya," kata Bambang di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Bambang menekankan bahwa kebiasaan mengonsumsi air dalam kemasan tidak terjadi di semua negara.
Di negara maju, warga kelas menengah terbiasa mengonsumsi air minum yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum. Sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli minuman. Hal ini menjaga daya beli kelas menengah karena mereka tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk air minum.
"Daya beli kelas menengahnya aman karena untuk air pun mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak," kata dia.
Meskipun demikian, Bambang menyatakan bahwa faktor kebutuhan air minum hanyalah salah satu dari banyak faktor lain yang menyebabkan banyak kelas menengah turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Ia menduga bahwa faktor utama runtuhnya kelas menengah di Indonesia adalah pandemi Covid-19.
"Penyebabnya itu variatif. Karena kan kita lihat datanya dari 2019 ke 2023. Jadi penyebab pertama adalah Covid," ujar mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas itu.
Selama dua tahun pandemi Covid-19, banyak kelas menengah yang kehilangan pekerjaan dan mengalami kebangkrutan bisnis. Setelah pandemi mereda, masyarakat kembali dihadapkan pada masalah lain, seperti tingkat suku bunga yang tinggi, yang turut mempengaruhi perekonomian.
"Jadi saya melihatnya kombinasi yang dimulai dari Covid, kemudian diperpanjang dengan tingkat bunga tinggi, nilai tukar melemah, apa-apa jadi mahal," kata dia
Selain itu, upaya kelas menengah untuk bangkit dari Covid-19 juga dihantam oleh naiknya harga beras akibat efek El Nino. Meskipun inflasi secara umum stabil, kenaikan harga beras ini menyebabkan daya beli kelas menengah menurun.
"Kombinasi itulah yang membuat sebagian kelas menengah itu turun ke aspiring middle class," kata dia.
Bambang juga mengingatkan bahwa fenomena judi online sangat mempengaruhi kondisi perekonomian seseorang karena sifatnya yang adiktif dan cepat menghabiskan pendapatan.
Kelas Menengah Berpotensi Jatuh Miskin
Selain mengalami penurunan kelas, penduduk kelas menengah di Indonesia juga semakin rentan terhadap kemiskinan dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini terlihat dari pola pengeluaran penduduk kelas menengah yang cenderung mendekati batas bawah pengelompokan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kelompok kelas menengah semakin sulit untuk naik ke kelas atas dan berisiko terjun ke dalam kelompok aspiring middle class, bahkan berpotensi jatuh ke dalam kemiskinan.
Amalia menjelaskan bahwa batas atas pengelompokan kelas menengah pada tahun 2024 adalah 17 kali lipat dari garis kemiskinan, yaitu Rp 582.932 per kapita per bulan, yang setara dengan Rp 9,90 juta.
Sementara itu, batas kelompok menengah bawah ditetapkan pada 3,5 kali lipat dari angka yang sama, yaitu Rp 2,04 juta.
Modus (nilai dengan frekuensi tertinggi) pengeluaran penduduk kelas menengah diperkirakan mencapai Rp 2,05 juta pada tahun 2024, yang semakin mendekati batas bawah ukuran kelas menengah sebesar Rp 2,04 juta.
(pal/nwk)