Mulyono dan Perubahan Nama Jawa: Histori Penamaan hingga Kepercayaan

ADVERTISEMENT

Mulyono dan Perubahan Nama Jawa: Histori Penamaan hingga Kepercayaan

Novia Aisyah - detikEdu
Minggu, 01 Sep 2024 09:00 WIB
Ilustrasi orang Jawa sedang mengobrol
Ilustrasi orang Jawa. Foto: Pexels/wahyu widiatmoko
Jakarta -

Nama Mulyono barang kali sering melintas di media sosial detikers belakangan ini. Mulyono merupakan nama yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika masih bayi, tetapi lantaran sering sakit-sakitan, nama itu diganti menjadi Joko Widodo sampai sekarang.

Hal itu pernah diafirmasi oleh Heru, Purnomo, paman Jokowi dari garis ayah.

"Iya, dulu nama Jokowi itu Mulyono. Karena saat balita sering sakit-sakitan, namanya diganti jadi Joko Widodo," ucapnya kepada detikX pada Januari 2017 silam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengasuh Jokowi saat masih kecil, Mukiyem, berdasarkan arsip yang sama pun sempat menerangkan makna nama "Widodo".

Dia menyebut "Widodo" berarti sejahtera dan sehat selalu. Oleh sebab itulah nama ini disematkan kepada Presiden Jokowi ketika masih bayi.

ADVERTISEMENT

"Saya mengasuh Jokowi sejak dia masih merangkak sampai sekolah TK," ucapnya saat itu.

Memang dikenal perubahan nama dalam budaya orang Jawa. Lantas seperti apa kepercayaan Jawa dalam memberi nama anak dan bagaimana evolusinya sejak dulu?

Kepercayaan Memberi Nama dalam Masyarakat Jawa

Doa Memberi Nama

Orang tua dari latar belakang suku Jawa, kerap memperlakukan nama sebagai suatu tetenger atau penanda, coding, sandi, hingga mantra untuk memanjatkan doa.

Berdasarkan buku Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas oleh Edy Suhardono dan Audifax, bahkan ada doa tentang nama yang bunyinya:

Heh putraningsun sami poro satriyo lan wanito mreneo sun jarwani, mangertiyo jenengsiro wus ingsun sabdo dadi kitab suci sejati adam makno wastanipun, iku wujudiro wulang reh sejati iku uniniro, berbudi bowo laksono, kadyp lakuniro pratondo jenengsiro putraningsun.

Doa tersebut diartikan oleh penulis menjadi, "Wahai anak-anakku, baik pria maupun wanita, ketahuilah bahwa nama pemberianku yang kalian pakai merupakan kitab suci Adammakna sejati, bahwa nama itu menjadi pedoman atau ajaran sejati tentang bagaimana perbuatan baik yang seharusnya kalian wujudkan, sehingga apa yang kalian perbuat tak lain menunjukkan bahwa kalian adalah anakku."

"Kabotan Jeneng"

Pada proses pemberian nama dalam budaya Jawa, ada semacam dialog internal, yakni afirmasi psikis tentang nama diri dan eksistensinya di kemudian hari. Afirmasi dalam wujud dialog internal yang ditanamkan sebagai doa atau mantra itu muncul dan diharapkan sebagai kekuatan yang menyertai sepanjang hidup seseorang.

Dialog internal dalam budaya Jawa bukan sembarang dialog.

Dialog internal memang dapat dipahami seakan bicara dalam hati, tetapi dalam arti lebih mendalam. Diri yang satu juga dapat sekaligus menjadi dua disebabkan adanya semacam posdialektik antara diri sebagai mikrokosmos dan semesta sebagai makrokosmos.

Maka, ada aku dalam semesta dan sebaliknya, ada semesta dalam diriku.

Namun, pemberian nama dalam budaya Jawa juga mengenal kabotan jeneng. Artinya, nama dianggap terlalu berat.

Pada kepercayaan ini, jika nama dianggap terlalu berat, maka dapat memengaruhi perilakunya. Istilah kabotan jeneng merujuk pada seorang anak yang sakit-sakitan, kemudian namanya diganti, sehingga dia sembuh.

Konstruksi Nama Orang Jawa

Nama-nama Jawa tampak sederhana. Moore (1954), dikutip dari tulisan Sahid Teguh Widodo dalam "Konstruksi Nama Orang Jawa Studi Kasus Nama-nama Modern di Surakarta" yang diterbitkan dalam jurnal Humaniora Volume 25 Nomor 1 Februari 2013, menduga hal ini berkaitan dengan sikap hidup orang Jawa.

Orang Jawa dalam berbagai situasi kerap berusaha tampil sederhana. Hal ini terlebih tampak benar ketika mengambil keputusan dalam berbagai kondisi.

Sikap menonjol orang Jawa adalah saviar vivre 'lapang dada', tidak konfrontatif, toleransi, dan tenang.

Simuh (1996) menjelaskan orang Jawa menghasilkan berbagai karya. Sementara nama diri adalah karya yang mempunyai daya sentuh inderawi yang asalnya dari pengalaman dan sikap batin yang dalam.

Namun, ada perubahan konstruksi nama orang Jawa dari waktu ke waktu.

Sebelum era 1970-an, nama-nama Jawa yang sederhana kerap dijumpai di pedesaan yang berkarakteristik kolektif dengan mobilitasnya yang rendah.

Sementara setelah era tersebut, nama-nama Jawa yang sederhana bergeser menjadi bentuk yang lebih panjang. Hal ini berkaitan erat dengan motivasi, dorongan, pola pikir, dan respons budaya baru dalam masyarakat Jawa.

Nama-nama Orang Jawa Berevolusi

Zaman Hindu

Pada zaman Hindu, kisaran abad 5-11, nama-nama orang Jawa bernuansa agama Hindu. Ada gejala budaya awatara atau nitis (inkarnasi) dalam pemberian nama orang Jawa pada masa ini.

Semasa Mataram Hindu, nama orang Jawa lebih dikenal dengan nama-nama pribadi, misalnya Sanjaya, Pikatan, Purnawarman, dan lainnya. Lalu ada perkembangan berbeda era Kahuripan dan Kadiri, dengan ciri Hinduisme yang berkurang dan ada proses budaya Jawanisasi.

Pada saat itu ada lambang-lambang alam atau hewan sebagai bagian dari nama, misalnya Kebo Ijo, Kleting Kuning, Lembu Amiluhur, dan Gajah Mada.

Menurut Hatley (1977), pada saat itulah nama pribadi atau setidaknya nama kecil (asma timur) mulai digunakan.

Periode Awal 1950-an hingga 1960-an

Pada tulisan Moordiati bertajuk "Saat Orang Jawa Memberi Nama: Studi Nama di Tahun 1950-2000" dalam jurnal Patrawidya, Volume 16 Nomor 3, September 2015, berdasarkan buku induk di tiga kecamatan Mojoagung, Sumobito, dan Mojowarno, ciri umum nama orang Jawa pada periode awal 1950-an hingga 1960-an kebanyakan masih tampak sederhana, kecuali golongan priayi dan terdidik.

Kebanyakan namanya masih sulit diketahui maknanya dengan pasti, tetapi ada banyak nama yang mengadopsi nama hari, bulan, tahun, wuku, windu, hingga nama alat perkakas dan binatang.

Beberapa contohnya adalah Djemuwah (Jumat), Leginah (Legi), Redjeb (Rajab), Sengara (Windu), Trinil (nama jenis burung), dan Tumbu (bakul yang lebih besar).

Selain itu juga ada banyak nama yang mengambil dari kata-kata Arab, tetapi dalam bentuk sederhana dan umumnya singkat, misalnya Durakeman (Abdurrahman).

Pada masa ini ada banyak nama Jawa yang berawalan su-, sa-, se-, dan so-. Awalan su- banyak digemari karena mempunyai makna baik.

Periode 1970-an hingga 1980-an

Pada periode ini, nama-nama Jawa menjadi lebih panjang, dengan umumnya terdiri dari 2 kata. Misalnya pun hanya satu kata, maka paling tidak adalah susunan tiga suku kata atau lebih.

Beberapa contoh nama pada masa ini adalah Sugiono dan Hartono.

Pada masa ini nama Jawa jadi lebih panjang, utamanya memasuki 1980-an. Ini menunjukkan perkembangan pemikiran dan pengetahuan orang Jawa.

Periode 1990-an hingga 2000-an

Pada periode 1990-an hingga 2000-an, nama Jawa jelas tampak lebih panjang. Nama yang dipakai biasanya modifikasi dari bentuk lain, contohnya yang mengadopsi bulan Masehi seperti Febrianti, Novi, dan Juliana.

Selain itu ada banyak nama menggunakan horoskop atau perbintangan barat, misalnya Leo.

Namun, ada hal konstan yang tetap dipakai dalam penamaan orang Jawa sejak 1950-an, yakni penomeran Sansekerta seperti dwi, tri, eka, dan lainnya.




(nah/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads