Istilah "raja Jawa" ramai diperbincangkan usai disinggug Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Sejumlah raja-raja di Pulau Jawa memang masih eksis saat ini.
Kerajaan yang masih eksis dan punya fungsi pemerintahan adalah Kesultanan Yogyakarta, yang merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Hal ini dijelaskan salah satu Pangeran di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Panembangan Pakoenegoro atau Raden Mas Hartawan Candra Malik yang juga dikenal sebagai budayawan.
"Banyak. Beliau-beliau berkumpul dalam Majelis Agung Raja dan Sultan (MARS) Indonesia. Selain itu, ada sejumlah perkumpulan yang beranggotakan raja, sultan, keluarga, dan/atau kerabat kerajaan," ujarnya kepada detikcom (22/8/2024), dikutip dari detikNews.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa raja yang masih eksis di Pulau Jawa di antaranya ada Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Kasultanan Yogyakarta, Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XIII di Keraton Solo, Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo dari Puro Mangkunegaran, Sultan Sepuh Aloeda II dari Keraton Cirebon, dan Sultan Banten Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni dari Kasultanan Banten.
Namun, bagaimana sejarah raja-raja Jawa itu sendiri?
Sejarah Raja-raja Jawa
Penduduk Jawa telah mengenal kehidupan bernegara pada abad 7 Masehi. Tercatat sekitar 196 tahun kehidupan bernegara ada di Jawa bagian tengah.
Kemudian, sekitar abad ke-9 M kehidupan bernegara mulai pindah ke Jawa bagian timur. Di Jawa Timur, kehidupan bernegara terjadi selama 500 tahun (Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir), dikutip dari buku Takhta Raja-raja Jawa: Intrik dalam Kekuasaan oleh Dwi Lestari.
Meski demikian, dua periode tersebut tidak menandakan hanya ada peradaban di kedua wilayah tersebut. Hanya saja, kedua wilayah itu adalah yang lebih menonjol dengan bukti berupa prasasti atau monumen.
Harus Laki-laki, Tapi Ada Raja Perempuan
Syarat menjadi raja dalam peradaban Jawa kuno, intinya harus laki-laki dan masih keturunan ayah. Walaupun begitu, ada beberapa raja perempuan yaitu:
- Abad 7: Ratu Shima, Kerajaan Kalingga
- Abad 9: Pramodhawardhani, Kerajaan mataram Kuno
- Abad 14: Tribhuwana Tunggadewi, Kerajaan Majapahit
- Abad 16: Ratu Kalinyamat, Kesultanan Demak
Pada kerajaan Jawa kuno, perempuan yang menjadi raja menimbulkan perdebatan. Perempuan dalam sistem patrilineal dipercaya sebagai penghilang silsilah keluarga.
Walaupun begitu, berjenis kelamin laki-laki pun tak cukup jadi raja. Dia harus bisa mendapat wahyu, wangsit, atau pulung mistis dari semesta. Tanpa ketiganya, raja akan dianggap sebagai orang dewasa, bukan wakil Tuhan.
Raja Tertua di Jawa
Sejarah raja-raja Jawa dapat dilacak dari beberapa sumber, seperti prasasti, kitab, atau yang lainnya. Salah satu bukti sejarah yakni Prasasti Sojomerto (670-700 M) yang menyatakan seorang raja Jawa tertua dalam sejarah adalah Santanu.
Prasasti tersebut juga mengatakan, di Batang, Jawa Tengah berdiri sebuah kerajaan yang dikuasai Dapunta Sailendra sekitar 674 M.
Silsilah Raja-raja Jawa
Silsilah raja-raja Jawa berdasarkan Carita Parahyangan dan Catatan Tiongkok, di Kalingga (antara Pekalongan dan Jepara) pernah berdiri kerajaan yang dipimpin Ratu Shima.
Carita Parahyangan, seperti dikutip dari Ensiklopedi Raja-raja dan Istri-istri Raja di Tanah Jawa dari Wangsa Sanjaya hingga Hamengku Buwono IX oleh Krisna Bayu Adji juga menyebut nama Raja Mandiminak dan Sanna (paman Sanjaya). Meski begitu, carita tersebut tak menyebutkan nama atau letak ibu kota kerajaan yang dipimpin kedua raja tersebut.
Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam tak dapat dilepaskan dari dua kerajaan sebelumnya, yaitu Demak dan Pajang. Leluhur raja-raja Mataram Islam diketahui adalah Ki Ageng Ngenis.
Dikutip dari buku Kitab Terlengkap Sejarah Mataram oleh Soedjipto Abimanyu, Ki Ageng Ngenis adalah cucu Bondan Kejawen atau Lembu Peteng, yang tak lain adalah putra Brawijaya V.
Kerajaan Mataram Islam mengalami kejayaan ketika dipimpin Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1613-1645.
Namun, Mataram Islam mengalami perpecahan karena adanya konflik internal, seperti dikatakan dalam laman Pemerintah Kabupaten Kulon Progo.
Konflik ini melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.
Konflik dikarenakan pengangkatan Pangeran Probosuyoso yang bergelar Pakubuwana II, anak kedua Amangkurat IV jadi raja baru.
Situasi memanas pasca VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. Kemudian, Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang tak setuju, kembali menyerang VOC dan Pakubuwana III.
VOC pun akhirnya melakukan taktik adu domba dengan menghasut Raden Mas Said supaya berhati-hati dengan Pangeran Mangkubumi. Lalu pada 1752, taktik VOC berhasil dan terjadilah perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi.
VOC pun memanfaatkan momen ini untuk berunding dengan Pangeran Mangkubumi dan berjanji memberi setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwana III kepadanya.
Akhirnya, disepakatilah perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Salah satu isinya adalah pembagian wilayah Kesultanan Mataram Islam jadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Berikut ini nama raja-raja Mataram Islam:
- Panembahan Senopati atau Sutawijaya
- Prabu Hanyokrowati atau Raden Mas Jolang
- Adipati Martoputro
- Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau Raden Mas Rangsang
- Amangkurat I
- Amangkurat II
- Amangkurat III
(nah/nwk)