Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB. Namun, sejak pagi sebelum naskah proklamasi dibacakan, sejumlah pemuda yang ikut dalam pertemuan di kediaman Maeda telah sibuk menyebarkan berita proklamasi.
Mereka membagi pekerjaan dalam kelompok-kelompok. Para pemuda bergerak menyebarluaskan berita proklamasi dalam bentuk tulisan maupun mulut ke mulut.
Kelompok pemuda yang bermarkas di Jalan Bogor Lama pimpinan Sukarni, berperan dalam menyiasati penyebaran berita proklamasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa hari berikutnya, kelompok pemuda di markas Menteng 31 ikut juga dalam penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan. Ada banyak pemuda yang datang ke markas tersebut untuk menyumbang tenaga. Mereka menyebarkan stensilan naskah proklamasi ke semua penjuru kota maupun daerah menggunakan mobil, sepeda, bahkan berjalan kaki.
Balai Pustaka Ikut Cetak Puluhan Ribu Naskah
Stensilan naskah telah digandakan puluhan ribu, tetapi tetap tidak cukup melayani permintaan naskah yang sangat banyak. Maka, Supardo yang bekerja di Balai Pustaka diminta bantuan untuk mencetaknya puluhan ribu lagi.
Begitu pula BM Diah diminta agar menggunakan percetakan Asia Raya untuk mencetak ratusan ribu eksemplar naskah proklamasi.
Penyebaran berita proklamasi hingga ke luar Pulau Jawa dibantu oleh tenaga-tenaga sukarela yang dikirimkan ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, ataupun pulau-pulau lain.
Dikutip dari buku IPS Terpadu Kelas VIII oleh Drs Anwar Kurnia, penyebarluasan berita proklamasi secara cukup efektif juga dilakukan melalui siaran radio. Syahrudin, wartawan kantor berita Domei sedari pagi 17 Agustus 1945 telah mendapat salinan naskah proklamasi. Kemudian dia menyampaikan salinan naskah tersebut kepada Kepala Bagian Radio Domei, Waidan B Panelewen.
Segera dia meminta F Wuz , petugas telekomunikasi, untuk menyiarkan berita proklamasi tiga kali berturut-turut. Sayang, baru dua kali disiarkan, tentara Jepang datang marah-marah dan memerintahkan penghentian berita ini.
Setelah tentara Jepang pergi, Waidan kembali meminta F Wuz untuk menyiarkan berita proklamasi. Berita ini disiarkan setiap setengah jam hingga pukul 16.00 WIB.
Jepang pun berusaha meralat berita itu dan menyatakannya sebagai kekeliruan. Kantor berita Domei pun disegel dan pegawainya tak diizinkan masuk sejak 20 Agustus 1945.
Namun, para pegawai Domei tak kalah akal. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31. Sejumlah teknisi radio seperti Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar membangun pemancar baru dengan alat-alat yang diambil dari Domei, bagian demi bagian. Dari pemancar gelap inilah proklamasi terus disiarkan.
Semakin Tersiar ke Seluruh Dunia
Di sisi lain, ada Jusuf Ronodipuro dari Radio Hosokioku di Gambir Barat yang mencuri kesempatan menyiarkan teks proklamasi hingga siarannya tertangkap di Singapura dan seluruh dunia.
Sementara, kantor berita Domei Bandung baru menerima berita proklamasi sekitar 11.15 WIB. Masyarakat Yogyakarta baru menerimanya tepat pukul 12.00 WIB bersamaan dengan salat Jumat.
Sejak 1946, pemancar RRI Yogyakarta berhasil menyiarkan The Voice of Free Indonesia. Siaran berbahasa Inggris ini dibawakan Molly Warner, orang Australia yang menikah dengan Moh Bondan, pejuang buangan Indonesia di Kamp Corwa, New South Wales.
Rasa simpati Warner terhadap perjuangan bangsa Indonesia membuatnya menyebarluaskan berita proklamasi dalam bahasa Inggris. Sehingga, berita proklamasi semakin tersiar ke seluruh dunia.
(nah/nwk)