BMKG: Hujan di Musim Kemarau Bukan Anomali Iklim, Tapi...

ADVERTISEMENT

BMKG: Hujan di Musim Kemarau Bukan Anomali Iklim, Tapi...

Nikita Rosa - detikEdu
Rabu, 10 Jul 2024 19:00 WIB
Ilustrasi hujan
Hujan di Musim Kemarau Bukan Anomali Iklim, Tapi... (Foto: Getty Images/iiievgeniy)
Jakarta -

Sebanyak 43% wilayah Indonesia tengah memasuki kemarau. Kendati demikian, hujan deras masih sering turun. Apakah kondisi ini bisa disebut anomali iklim?

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menegaskan jika fenomena hujan di musim kemarau bukanlah anomali iklim. Menurutnya, kondisi tersebut adalah sesuatu yang wajar terjadi dan berkaitan dengan letak geografis Indonesia.

"Letak geografis ini menjadikan Indonesia memiliki dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Angin monsun barat dari Benua Asia membuat Indonesia mengalami musim hujan. Sementara secara umum, musim kemarau di Indonesia berkaitan dengan aktifnya angin monsun timur dari Australia yang bersifat kering," ungkap Dwikorita dalam laman BMKG dikutip Rabu (10/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski berstatus musim kemarau, bukan berarti tidak turun hujan sama sekali. Curah hujan masih bisa turun di suatu tempat dengan kurang dari 50 mm/dasarian.

Meski sudah memasuki musim kemarau, wilayah Indonesia tidak selalu menunjukkan kondisi iklim yang kering dan panas. Hal ini disebabkan karena adanya karena keragaman iklim di Indonesia.

ADVERTISEMENT

Apa Penyebab Keragaman Iklim di Indonesia?

Diterangkan Dwikorita bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia yaitu faktor global misalnya fenomena El Nino/La Nina, faktor regional misalnya Madden Julian Oscillation dan menghangatnya suhu permukaan laut di sekitar Indonesia, dan faktor lokal seperti adanya angin darat-angin laut.

"Sebuah kejadian cuaca, umumnya merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor tersebut," imbuhnya.

Mengenai fenomena hujan lebat dalam beberapa hari terakhir, hal itu disebabkan oleh dinamika atmosfer skala regional yang cukup signifikan. Di antaranya, termonitornya aktivitas fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Rossby Ekuatorial, dan Gelombang Kelvin.

MJO adalah aktivitas dinamika atmosfer yang terjadi di wilayah tropis, di mana terdapat pergerakan sistem awan hujan yang bergerak di sepanjang khatulistiwa, dari Samudra Hindia sebelah timur Afrika ke Samudra Pasifik dan melewati wilayah Benua Maritim Indonesia. Fenomena ini, tambah Dwikorita, bersifat temporal dan akan terulang setiap 30 hingga 60 hari di sepanjang wilayah Khatulistiwa. Fenomena MJO ini bisa mempengaruhi pola cuaca dengan meningkatkan kemungkinan adanya periode hujan yang lebih intens, sekalipun di musim kemarau.

"Dalam beberapa hari terakhir, terjadi fenomena cuaca MJO yang aktif di sekitar wilayah Samudra Hindia dan mempengaruhi pembentukan awan hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Pada periode tanggal 3 - 6 Juli 2024, gelombang atmosfer MJO, Rossby Equatorial, dan Kelvin aktif di Indonesia bagian tengah dan selatan," jelasnya.

Selain dipengaruhi iklim dan dinamika atmosfer, tipe hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi topografi. Kondisi topografi wilayah Indonesia yang merupakan daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan faktor lokal yang menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia.

"Keragaman iklim inilah yang menyebabkan wilayah Indonesia terbagi menjadi banyak zona musim, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal di mana masing-masing tipe zona memiliki periode waktu terjadinya musim hujan dan musim kemarau yang berbeda," paparnya.




(nir/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads