Apakah akhir-akhir ini detikers juga sering melihat candaan berbunyi 'Thoriq sudah haji sejak usia 2 bulan'?
Thoriq Halilintar merupakan selebritas media sosial, anak keempat dari sebelas bersaudara Gen Halilintar. Ini adalah julukan bagi keluarga dari pasangan Halilintar Anofial Asmid dan Lenggogeni Faruk (Geni Faruk).
Candaan ini bermula ketika acara lamaran Thoriq atau Thariq kepada Aaliyah Massaid pada 23 Juni 2024 lalu. Geni Faruk menyebut Thoriq, putranya itu sudah haji sejak usia dua bulan. Perkataan itu pun viral dan jadi candaan publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haji di Indonesia sendiri memiliki sejarah yang menarik. Bagaimana penggunaan gelar haji di Indonesia secara historis?
Sejarah Gelar Haji di Indonesia
Dosen Ilmu Sejarah Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Moordiati mengatakan penggunaan gelar haji hanya berlaku di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia.
"Jadi, penyematan gelar haji ini memang memiliki makna dan sejarah tersendiri ya. Selain itu, penyematan gelar haji hanya ada di Indonesia dan Malaysia," ujar Moordiati, dikutip dari rilis dalam situs Unair.
Moordiati memaparkan, pada zaman dahulu masyarakat dari Nusantara yang melaksanakan haji tak memerlukan izin dari mana pun.
Saat itu haji umumnya menggunakan transportasi kapal laut. Maka dari itulah ibadah haji memiliki risiko yang besar dan membutuhkan modal yang tak sedikit.
"Dulu kebanyakan orang dari Pulau Aceh yang bisa berangkat ibadah haji. Orang Jawa masih sedikit karena keterbatasan modal," jelasnya.
Walaupun mempunyai risiko yang besar, jamaah haji Nusantara mempunyai ikatan kuat dengan para ulama dan masyarakat Timur Tengah. Hal ini dilatarbelakangi sejarah kedua bangsa.
Namun, ikatan ini membuat pemerintah kolonial khawatir atas posisi dan kedudukannya di Nusantara. Sebab, jamaah haji yang kembali dari Timur Tengah membawa semangat pergerakan dan kemerdekaan.
"Atas dasar kekhawatiran itu, pemerintah memutuskan untuk membuat peraturan tentang izin melaksanakan ibadah haji dan penyematan gelar haji untuk mewaspadai orang Nusantara yang sudah melaksanakan ibadah haji," jelas Moordiati lagi.
Oleh sebab itu, pemerintah kolonial Belanda mewajibkan orang yang kembali dari Makkah untuk menyematkan gelar haji sebagai penanda. Dengan peraturan ini, masyarakat Nusantara yang tak mengikuti prosedur pemerintah kolonial akan didenda.
Adakah Kewajiban Menyematkan Gelar Haji, Sekarang Ini?
Ibadah haji pada zaman sekarang telah mengalami pergeseran makna dibandingkan saat kolonial dahulu. Sekarang tak ada kewajiban menyematkan gelar haji pada seseorang, jika orang tersebut sudah melaksanakan haji.
Hanya saja, menurut Moordiati karena sudah jadi budaya, maka masyarakat tetap menyematkan gelar haji pada mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji.
"Saat ini, tidak ada peraturan khusus tentang penyematan gelar haji saat ini. Namun karena sudah menjadi budaya, masyarakat tetap menyematkan gelar haji pada seseorang yang sudah melaksanakan ibadah haji," ujar Moordiati.
Dia mengatakan, gelar haji memang sudah lazim disematkan kepada masyarakat Indonesia yang sudah berhaji. Namun, menurutnya hal ini perlu disikapi secara bijaksana.
"Tidak perlu memaksakan kehendak atau berlebihan dalam menuntut seseorang untuk memanggil dengan gelar haji," kata Moordiati.
Masyarakat Nusantara Sempat Dominasi Sekitar 40% Jemaah Haji
Berdasarkan buku Islam & Transformasi Masyarakat Nusantara oleh Moeflich Hasbullah, dalam sejarah Indonesia, pelaksanaan haji adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah pembentukan kebangsaan. Pelaksanaan haji dinilai mewarnai Nusantara dalam tiga hal.
Pertama, mewarnai sejarah dan dinamika kehidupan bangsa Indonesia selama berabad-abad. Kedua, memiliki peran penting dalam islamisasi dan pergolakan politik melawan kolonialisme.
Ketiga, sejak abad 19 menjadi penyumbang devisa untuk pemerintah Arab Saudi karena jumlah jemaah haji Nusantara selalu lebih banyak dari negara lain.
Dikatakan bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah jemaah haji berkisar 10-20 persen dari seluruh haji asing, meskipun mereka datang dari wilayah yang lebih jauh dari yang lain. Menurut Vredenbregt (1962), pada dasawarsa 1920-an bahkan sekitar 40 persen seluruh jemaah haji berasal dari Indonesia.
(nah/nwk)