Benarkah Wanita Lebih Toleran Rasa Sakit? Ini Apa Kata Studi!

ADVERTISEMENT

Benarkah Wanita Lebih Toleran Rasa Sakit? Ini Apa Kata Studi!

Novia Aisyah - detikEdu
Selasa, 09 Jul 2024 18:00 WIB
ilustrasi pria dan wanita
Ilustrasi pria dan wanita. Foto: thinkstock
Jakarta -

Apakah detikers sepakat bahwa wanita mampu menahan rasa sakit lebih baik daripada pria? Bagaimanakah faktanya?

Agar seseorang dapat merasakan nyeri, neuron sensorik yang disebut nosiseptor mendeteksi rangsangan nyeri, kemudian mengirimkan sinyal ke otak untuk ditafsirkan. Rangsangan menyakitkan ini termasuk suhu ekstrem, tekanan mekanis, dan peradangan. Orang-orang menunjukkan perbedaan dalam cara mereka memandang setiap stimulus, dan perbedaan ini berasal dari berbagai faktor, termasuk jenis kelamin seseorang.

Beberapa penelitian mengatakan wanita memiliki sensitivitas nyeri yang lebih tinggi dan ambang nyeri yang lebih rendah dibandingkan pria. Misalnya, sebuah studi tahun 2012 yang meneliti bagaimana pria dan wanita merespons tekanan fisik menemukan wanita lebih sensitif terhadap nyeri mekanis dibandingkan pria.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam penelitian lain, pria dan wanita diminta untuk menunjukkan kapan mereka merasakan rangsangan panas dan menilai intensitasnya. Hal ini menunjukkan perempuan memiliki ambang rasa sakit yang lebih rendah terhadap panas dibandingkan laki-laki.

"Sudah diketahui umum bahwa perempuan lebih sensitif terhadap rasa sakit dibandingkan laki-laki," kata Jeffrey Mogil, seorang profesor ilmu saraf perilaku di McGill University yang mempelajari perbedaan jenis kelamin dalam rasa sakit.

ADVERTISEMENT

"Hal ini telah ditunjukkan pada manusia dalam ratusan penelitian; tidak semuanya signifikan secara statistik, tetapi pada dasarnya semuanya mengarah ke arah yang sama," kata Mogil kepada Live Science.

Namun, beberapa penelitian justru menunjukkan sebaliknya.

Penelitian Berbeda, Fakta Berbeda: Lak-laki Lebih Merasakan Sakit

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2023, para peneliti merekrut 22 remaja yang terdiri dari 12 perempuan dan 10 laki-laki untuk tes sensitivitas nyeri termal. Para partisipan ini diberi rangsangan panas dan dingin, kemudian diminta menilai intensitas nyeri mereka.

Remaja laki-laki mencatatkan intensitas nyeri yang lebih tinggi terhadap kedua rangsangan dibandingkan perempuan.

Namun, penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan dalam cara pria dan wanita merespons panas yang menyebabkan rasa sakit.

Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan ilmuwan karena tidak ada metrik yang signifikan untuk mengukur toleransi rasa sakit, kata Frank Porreca, profesor ilmu saraf di Universitas Arizona.

Ambang batas rasa sakit dan toleransi seseorang cenderung bervariasi antartes dan kondisi. Ditambah lagi, beberapa penelitian menemukan perempuan adalah subjek tes yang lebih dapat diandalkan dibandingkan laki-laki, sehingga memberikan penilaian yang lebih konsisten mengenai rasa sakit mereka.

Porreca mempelajari mekanisme yang dapat memicu rasa sakit. Dia serta timnya baru-baru ini menemukan bahwa nosiseptor pria dan wanita diaktifkan oleh zat yang berbeda. Artinya, langkah awal persepsi nyeri berbeda-beda antarjenis kelamin.

Mogil mengatakan kepada Live Science sebelumnya belum pernah ditunjukkan bahwa ciri-ciri nosiseptor itu sendiri bergantung pada jenis kelamin.

Diketahui rangsangan nyeri perlu melampaui ambang batas tertentu untuk mengaktifkan nosiseptor. Biasanya, rangsangan dengan intensitas rendah, seperti minum air dingin, tidak akan mengaktifkan nosiseptor, tetapi jika mengalami luka di mulut, nosiseptor di sana akan diaktifkan.

Porreca menjelaskan, dalam skenario ini, ambang batas aktivasi nosiseptor diturunkan. Timnya ingin mengetahui apakah "sensitisasi" ini bergantung pada jenis kelamin.

Untuk menyelidikinya, mereka mengambil sampel sel nosiseptor dari ganglion akar dorsal, terminal dekat sumsum tulang belakang yang dilalui informasi sensorik ke sistem saraf pusat. Tim tersebut mengambil sel dari tikus jantan dan betina, primata bukan manusia, dan manusia, lalu memaparkan sel tersebut ke berbagai zat.

Penelitian sebelumnya telah mengimplikasikan hormon prolaktin dalam respons wanita terhadap rasa sakit dan zat kimia yang disebut orexin dalam respon rasa sakit pada pria, jadi ini sepertinya merupakan agen yang sempurna untuk percobaan ini. Hasilnya menunjukkan sel-sel berperilaku berbeda ketika terkena salah satu zat pada semua spesies sampel.

Prolaktin menurunkan ambang aktivasi nosiseptor pada wanita, tetapi tidak memengaruhi pria. Sebaliknya, orexin membuat sel laki-laki peka tetapi tidak berpengaruh pada sel perempuan. Kedua zat tersebut secara alami terdapat pada kedua jenis kelamin, tetapi dalam konsentrasi yang berbeda.

"Nociceptors yang kita peroleh baik dari hewan jantan atau betina atau donor manusia postmortem sangat berbeda dalam proses yang menghasilkan penurunan ambang batas ini," kata Porreca.

Dia menambahkan penemuan ini dapat membantu merancang terapi nyeri yang dapat dioptimalkan untuk pria dan wanita, terutama karena sebagian besar pasien nyeri di dunia adalah wanita. Misalnya, kondisi nyeri kronis fibromyalgia lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria di Amerika Serikat.

"Terlepas dari jenis kelamin mana yang lebih sensitif terhadap rasa sakit, terdapat semakin banyak bukti, seperti makalah ini, bahwa sirkuit yang terjadi di balik layar adalah sirkuit yang berbeda pada pria dan wanita," kata Mogil.

"Sistem ini sebenarnya adalah sistem yang berbeda antara pria dan wanita, dan itulah bagian yang lebih menarik," imbuhnya.




(nah/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads