Taman Batu Kuno di Cile Simpan Misteri Peradaban Rapa Nui

ADVERTISEMENT

Taman Batu Kuno di Cile Simpan Misteri Peradaban Rapa Nui

Devita Savitri - detikEdu
Kamis, 04 Jul 2024 07:00 WIB
Patung Moai di Pulau Paskah
Pulau Paskah. Foto: CNN
Jakarta -

Penemuan taman batu kuno di negara Cile tidak lepas dari cerita penjelajah Inggris bernama James Cook. Cook diketahui tiba di Rapa Nui (bahasa Spanyol Pulau Paskah) yang kini negara Cile pada tahun 1774.

Meski begitu, Cook sepertinya bukan orang pertama yang menjelajah Rapa Nui. Mengutip Mental Floss, ia pergi ke wilayah tersebut untuk melihat keajaiban yang digambarkan oleh dua penjelajah Eropa lainnya.

Dijelaskan Rapa Nui memiliki patung batu menjulang tinggi dengan kepala besar yang dikenal sebagai moai. Moai berdiri setinggi 33 kaki (10 meter) dengan berat sekitar 14 ton (sekitar 14 ribu kg) yang berjejer di sekeliling pulau dengan banyak batu di sekitarnya. Karena itu, Pulau Paskah juga terkenal sebagai taman batu kuno yang pernah ada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peradaban Rapa Nui

Mengutip detiktravel, Pulau Paskah seperti titik kecil di kawasan Samudera Pasifik. Para peneliti bahkan belum memastikan terkait asal-usul penduduk pertama di pulau ini.

Namun, saat ditemukan Rapa Nui ternyata sudah memiliki penduduk asli. Para ahli bahasa memperkirakan penduduk pertama di Pulau Paskah tiba sekitar 1.600 tahun yang lalu dari Polinesia Timur.

ADVERTISEMENT

Pendapat itu akhirnya bersaing dengan hasil penelitian arkeologi yang menunjukkan Pulau Paskah baru mulai dihuni sekitar 1.300 hingga 1.200 tahun yang lalu. Setelah melakukan tes DNA terhadap 12 kerangka yang ditemukan di Rapa Nui, mereka dijelaskan berasal dari Polinesia.

Mereka tinggal di daerah gunung berapi dan bertahan hidup melalui sumber daya alam yang ada. Menjadi daerah yang berada di Samudera Pasifik, Pulau Paskah digambarkan Cook seperti sebidang batu tandus tanpa pepohonan. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Beberapa pakar mengemukakan teori tentang ekosida. Ekosida adalah kejahatan lingkungan dengan memusnahakan sumber daya dan ekosistem yang seharusnya diperlukan dalam kehidupan manusia.

Peradaban Rapa Nui berkembang dengan cepat dalam hal menghabiskan sumber daya alam untuk menciptakan moai. Karena sumber daya alamnya habis, akhirnya berdampak pada berkurangnya populasi Rapa Nui. Hingga akhirnya pada abad ke-19 sebuah serangan dilakukan oleh para budak yang membinasakan penduduk pulau tersebut.

Teori ekosida pertama kali hadir pada awal tahun 1990-an dan dipopulerkan dalam buku Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed karya sejarawan Jared Diamond. Buku itu memberikan peringatan tentang dunia yang tengah berada di ambang perubahan iklim.

Di buku tersebut, Diamond membahas tentang penduduk Pulau Paskah yang menebang pohon palem terakhir mereka. Hal ini akhirnya menimbulkan beragam reaksi.

Beberapa ahli arkeologi dan peneliti menolak pendapat tersebut. Mereka akhirnya melakukan berbagai metode untuk melacak aktivitas manusia di Rapa Nui.

Ekosida atau Genosida?

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pemukim pertama di Rapa Nui diperkirakan hadir sekitar 1200-1300 tahun yang lalu (sebelum tahun 800 M). Kala itu, penduduk Rapa Nui bergantung pada tanah dari sisa tanaman dan mulsa batu untuk menanam ubi jalar, talas, ubi, dan cordyline.

Untuk memperkirakan berapa besar populasi yang ada di Rapa Nui dan membuktikan apakah benar-benar terjadi ekosida, para ahli akhirnya mengukur berapa banyak lahan yang digunakan sebagai pertanian.

Pada tahun 2012 sebuah studi yang dilakukan Universitas Auckland memperkirakan antara 2,5 dan 12,7 persen wilayah pulau tersebut digunakan sebagai lahan pertanian. Namun, studi ini menggunakan data satelit yang lemah.

Tidak hanya pertanian, studi juga menunjukkan beberapa area mungkin merupakan jalan setapak atau bangunan lainnya.

Penelitian lebih lama dari itu menunjukkan bila populasi terbesar yang ada di Rapa Nui mencapai 17 ribu jiwa. Tapi populasi ini ternyata berkurang 3 ribu orang, karena para arkeolog setuju bila populasi penduduk di pulau itu pada saat kontak pertama adalah 20 ribu jiwa.

Akhirnya penelitian ini dianggap menjadi salah satu yang mendukung teori ekosida. Namun, penelitian paling baru yang diterbitkan pada tahun 2024 dalam jurnal Science Advances membantah teori ekosida. Studi dilakukan menggunakan data satelit untuk mendeteksi kelembapan dan komponen tanah.

Dyland S Davis dkk menjelaskan memang Rapa Nui sering digunakan sebagai contoh daerah yang melakukan praktik eksploitasi berlebihan. Padahal mereka memiliki sumber daya yang terbatas dan pada akhirnya mengakibatkan kehancuran populasi.

Awalnya masyarakat Rapa Nui di masa lalu memang membakar tanaman asli di pulau tersebut yakni palem. Namun, pembakaran ini bukan secara sengaja melainkan langkah mitigasi karena produktivitas tanah di daerah tersebut buruk. Praktik ini dinyatakan sebagai hal yang lazim dilakukan dalam bidang perladangan.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat lokal mulai semakin terlibat dalam strategi budidaya yang dikenal dengan mulsa litik, suatu bentuk tanaman batu. Hingga akhirnya terbentuk taman batu kuno seperti yang terkenal saat ini.

Bukan tanpa sebab, taman batu ini ternyata mampu meningkatkan produktivitas tanaman dengan meningkatkan ketersedian unsur hara dan menjaga kelembaban tanah. Sayangnya, pemahaman peneliti tentang praktik ini masih terbatas sehingga diperlukan studi lanjutan.

Memang diketahui beberapa bukti menunjukkan pulau itu kehilangan banyak wilayah yang bisa menjadi tempat bercocok tanam selama manusia hidup di sana. Bukan manusia, pembantah teori ekosida menyebutkan ada jenis tikus yang menghancurkan hutan dan fauna asli pulau tersebut.

Beberapa pihak masih berpendapat bila teori ekosida menjadikan masyarakat Rapa Nui sebagai orang yang bodoh.

Seorang antropolog, Benny Peiser menuliskan seharusnya penduduk Rapa Nui adalah korban dari pemusnahan budaya karena genosida yang dilakukan pada abad ke-19. Namun, mereka akhirnya dicap sebagai pelaku yang menyebabkan kehancuran mereka sendiri karena ekosida.

"(Ekosida adalah teori) mengubah korban pemusnahan budaya dan fisik menjadi pelaku kehancuran mereka sendiri," tutupnya.




(nah/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads