Kesulitan ekonomi yang disebabkan pandemi COVID-19 menyebabkan serangkaian masalah yang saling berkaitan antara orang tua dan anak-anak mereka.
Pada sebuah studi terbaru para peneliti menemukan ketidakstabilan ekonomi dikaitkan dengan tingkat gejala depresi yang lebih tinggi pada orang tua, yang kemudian dikaitkan dengan kualitas hubungan yang lebih buruk pada pasangan. Hal ini pun berkaitan dengan pola asuh yang lebih keras, kemudian meningkatnya perilaku internalisasi pada anak-anak mereka.
"Kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi mempunyai efek limpahan yang pada akhirnya dikaitkan secara negatif dengan kesehatan mental anak-anak mereka," kata Joyce Lee, penulis utama studi tersebut dan asisten profesor di The Ohio State University, dikutip dari Science Daily.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Temuan kami sejalan dengan penelitian deskriptif lainnya yang menunjukkan kesehatan mental anak-anak anjlok selama pandemi," imbuhnya.
Studi ini dipublikasikan secara online dalam jurnal Child & Family Social Work.
Penelitian ini melibatkan 259 orang tua yang membesarkan satu atau lebih anak berusia 12 tahun atau lebih muda yang mengatakan bahwa mereka mengalami setidaknya satu kali kesulitan ekonomi terkait pandemi. Survei longitudinal dilakukan dengan melibatkan peserta dari seluruh negeri dan berfokus pada dua poin berbeda selama minggu-minggu awal pandemi.
Kaitan Ketidakstabilan Ekonomi dan Kesehatan Mental Anak
Salah satu kelebihan penelitian ini adalah penelitian tidak hanya mencakup keluarga berpenghasilan menengah.
Para orang tua ditanyai tentang gejala depresi, kualitas hubungan, dan praktik pengasuhan yang keras. Mereka juga ditanya tentang perilaku internalisasi anak-anak mereka seperti mengeluh kesepian, banyak menangis, dan merasa takut atau cemas. Para peneliti menemukan hubungan yang jelas antara masalah-masalah ini, kata Lee.
Hal ini dimulai dengan ketidakstabilan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi. Orang tua yang melaporkan tingkat ketidakstabilan ekonomi yang lebih tinggi pada saat survei pertama juga memiliki tingkat gejala depresi yang lebih tinggi pada saat yang bersamaan. Hal ini pun dikaitkan dengan hubungan yang lebih negatif dengan pasangannya pada saat survei kedua dilakukan.
"Mereka melaporkan lebih banyak perbedaan pendapat, argumen, dan pertengkaran selama pandemi ini," kata Lee.
Hal ini kemudian dikaitkan dengan laporan pola asuh yang lebih keras terhadap anak-anak mereka, termasuk membentak, berteriak, dan hukuman fisik seperti tamparan.
Terakhir, pola asuh yang keras dikaitkan dengan anak-anak yang memiliki perilaku internalisasi seperti sering menangis dan kesepian. Namun, data dari penelitian ini tidak mencakup perilaku eksternalisasi, seperti agresi fisik dan amukan.
"Ada dampak-dampak berjenjang yang dimulai dari kesulitan ekonomi yang dipicu oleh pandemi, dan semuanya berdampak pada kesehatan mental anak-anak," kata Lee.
Meskipun penelitian lain menemukan gejala depresi pada orang tua dapat dikaitkan dengan pola asuh yang keras, salah satu kekuatan penelitian ini adalah mencakup kualitas hubungan pasangan.
"Kualitas hubungan adalah bagian penting dari hal ini. Jika hubungan Anda tidak berjalan baik dengan pasangan Anda, hal ini menunjukkan dinamika keluarga yang lebih luas yang dapat berdampak pada cara Anda menangani anak-anak Anda," jelas Lee.
Temuan juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan gender yang signifikan dalam cara ibu dan ayah bereaksi ketika menghadapi masalah ekonomi selama pandemi. Hal ini cukup mengejutkan karena beberapa laporan mengatakan para ibu mendapat pukulan lebih besar dalam karier mereka karena COVID-19 dan lebih cenderung mengurus anak-anak di rumah ketika sekolah tutup.
Ini menunjukkan bahwa ibu mungkin memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan ayah. Namun, hal tersebut tidak ditemukan dalam penelitian ini.
Lee mencatat sampel yang diambil relatif kecil, sehingga diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengonfirmasi perbedaan gender dalam reaksi terhadap pandemi ini.
Meskipun penelitian ini dilakukan pada minggu-minggu awal pandemi COVID-19, Lee mengatakan temuan ini mungkin relevan dengan bencana atau masalah lain yang menyebabkan kemerosotan ekonomi.
Salah satu implikasinya adalah perlunya intervensi yang dapat membantu ibu dan ayah yang mengalami kesulitan ekonomi untuk menghentikan rangkaian masalah yang mengarah pada masalah kesehatan mental anak.
(nah/nwy)