Sisi Gelap Media Sosial bagi Anak & Kaum Perempuan: Cyberbullying-Stereotip Gender

ADVERTISEMENT

Sisi Gelap Media Sosial bagi Anak & Kaum Perempuan: Cyberbullying-Stereotip Gender

Devita Savitri - detikEdu
Rabu, 22 Mei 2024 11:30 WIB
Young girl is reading alone on her laptop late at night
Ilustrasi. Media sosial ternyata punya sisi gelap yang mengancam anak dan kaum perempuan. Ini penjelasannya. Foto: Getty Images/Vladimir Vladimirov
Jakarta -

Ponsel dan media sosial bak dua hal yang tidak bisa dipisahkan bagi masyarakat digital masa kini. Tapi bak dua sisi koin, media sosial memiliki dampak positif dan negatif yang tidak bisa dilepaskan.

Psikolog Universitas Airlangga (Unair), Dr Ike Herdiana MPSi mengungkapkan dari sisi positif media sosial mampu membantu seseorang membangun konsep diri positif terutama bagi anak-anak. Selain itu, juga bisa sebagai ladang wawasan dan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, mengingat anak-anak masa kini sangat akrab dengan teknologi.

Namun, menurutnya, itu semua bisa tercapai bila dipergunakan secara bijak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Media sosial bisa memberdayakan anak-anak jika digunakan dengan bijak. Melalui media sosial, anak-anak bisa mendapatkan wawasan yang lebih luas, berteman baru, dan berinteraksi positif dengan sekitarnya," tuturnya dikutip dari rilis di laman resmi Unair, Selasa (21/5/2024).

Pada sisi sebaliknya, media sosial bisa juga menjadi mimpi buruk bagi penggunanya, terutama perempuan. Baru-baru ini, UNESCO mempublikasi laporan berjudul "Technology on Her Terms" yang mengungkap bila media sosial mampu mempengaruhi kesejahteraan dan pendidikan perempuan.

ADVERTISEMENT

Perempuan Lebih Sering Jadi Korban Cyberbullying

Salah satu sisi gelap yang tak bisa luput dari media sosial adalah pelanggaran hak privasi dan cyberbullying. Jika mengalaminya terutama pada anak-anak, Ike menyatakan mereka akan merasa takut dan bingung bercerita kepada orang tua mereka yang akhirnya menyebabkan trauma psikologis.

"Bahkan, jika terpapar terhadap pelecehan seksual online dapat menyebabkan trauma pada anak-anak," ulasnya.

Data terkait cyberbullying atau tindakan bullying di dunia maya yang ditujukan untuk mengucilkan hingga melukai seseorang juga meningkat. Menurut World Health Organization cyberbullying pada anak perempuan berusia 11-13 tahun. Imbasnya adanya penurunan motivasi dan prestasi di sekolah mereka.

Selaras dengan WHO, The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan media sosial memberikan dampak yang lebih buruk bagi perempuan dibandingkan laki-laki terutama dalam hal cyberbullying.

Berdasarkan survei yang dilakukan OECD pada negara-negara anggotanya, sekitar 12% anak perempuan berusia 15 tahun melaporkan pernah mengalami cyberbullying dibandingkan dengan 8% anak laki-laki. Mereka juga lebih sering menjadi sasaran cyberbullying dibandingkan anak laki-laki.

Mengerikannya, penindasan siber ini disebut 'sangat lazim' di sejumlah negara Eropa Timur, Irlandia, dan Inggris.

Perempuan vs Perempuan

Tidak hanya cyberbullying, Ike mengkritik stereotip gender benar ada nyatanya di media sosial. Mirisnya kerap kali yang menyudutkan perempuan adalah perempuan lainnya.

Padahal seharusnya ungkapan 'women support women' bukan menjadi kata-kata belaka di mana sesama perempuan seharusnya bisa saling mendukung.

Sama seperti laki-laki perempuan harusnya bisa menampilkan dirinya sendiri tanpa harus merasa dibatasi. Namun, kenyataannya malah mendapat stigma yang melemahkan.

"Stereotip yang sering muncul di medsos adalah perempuan mudah dilemahkan melalui tindakan pelecehan seksual secara online dan sering mendapatkan hinaan atau diskriminasi," imbuhnya.

Istirahat Media Sosial

Lalu apa yang harus kita lakukan jika telah merasa tertekan di media sosial? Ike menyarankan istirahat dari platform tersebut untuk kesejahteraan mental.

Saran ini juga pernah dijelaskan oleh Profesor Psikologi, Jennifer Mills dari Universitas York, Inggris. Melalui studinya yang diunggah pada jurnal Body Image, Mills melakukan eksperimen tentang jeda media sosial kepada 66 mahasiswi tahun pertama di Universitas York.

Sebanyak 33 mahasiswi diminta untuk mengambil jeda atau beristirahat dari media sosial, sedangkan sisanya diperbolehkan memakai media sosial mereka seperti biasa selama satu minggu. Sebelum dan sesudah penelitian peserta diminta untuk menyelesaikan survei untuk mengetahui pengalaman mereka.

Hasilnya ditemukan mahasiswa yang mengambil jeda di media sosial mengalami peningkatan yang signifikan terkait harga diri dan citra tubuh mereka. Khususnya mereka yang paling rentang terhadap masalah tubuh ideal.

Menurut Mills media sosial memberikan konten yang tidak terbatas. Hal ini memicu sistem di otak manusia yang membuat kita ingin terus-menerus melihatnya. Akibatnya waktu cepat berlalu, bila semula hanya hitungan menit menjadi berganti jam.

Dengan melakukan jeda dari media sosial, perempuan akan mendapatkan perilaku dan gaya hidup yang lebih sehat. Karena ada banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan di dunia nyata dibanding maya.

"Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan untuk menghabiskan waktu di kehidupan nyata, seperti bersosialisasi dengan teman, tidur, keluar rumah, berolahraga, dan perilaku sekunder lain yang bisa dilakukan untuk mengisi kekosongan ketika jeda media sosial," pungkasnya.

Sementara itu, selain istirahat dari media sosial, Ike menambahkan bahwa orang tua juga penting untuk berperan.

Meski sudah memiliki umur yang cukup, sebaiknya anak-anak tetap diawasi dan dipantau aktivitasnya di media sosial. Jika ada yang mencurigakan, tidak ada salahnya untuk berkomunikasi terkait penggunaan media sosial sang anak.




(det/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads