Apakah kamu pernah merasakan sedih yang berlarut-larut hingga kehilangan minat dalam setiap aktivitas sehari-hari? Hati-hati, bisa jadi itu kondisi kesehatan mental yang depresi. Studi telah menunjukkan bahwa depresi bisa membuat dampak lanjutan seperti demensia, terutama pada pria.
Demensia bukan dampak yang bisa disepelekan. Demensia adalah sindrom yang memengaruhi daya ingat, kemampuan berpikir, hingga kemampuan sosial termasuk komunikasi dan bahasa. Hal ini bisa sangat mengganggu aktivitas sehari dan memiliki dampak jangka panjang.
Dalam studi yang dipublikasikan di JAMA Neurology, diketahui bahwa mereka yang terdiagnosis depresi ternyata dua kali lebih mungkin terdiagnosis demensia di kemudian hari, dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami depresi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi depresi ini bukan hanya diukur pada usia paruh baya saja, melainkan juga orang-orang dewasa yang juga sudah mengalaminya.
"Hasil kami menunjukkan bahwa diagnosis depresi kapan pun di masa dewasa (juga) meningkatkan risiko demensia di kemudian hari," kata penulis pertama, Holly Elser, MD, PhD, seorang residen Neurologi di Penn, dikutip dari situs Penn Medicine News.
Depresi di Berbagai Negara
Berdasarkan data, depresi di setiap negara telah diderita jutaan warga. Menurut laporan Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia (PDSKJI), pada 2019, terdapat 15,6 Juta penduduk Indonesia yang mengalami depresi, sebagaimana dikutip dari situs LIPI.
Di Ukraina, tercatat ada lebih dari 2 juta kasus. Sementara di Amerika Serikat, ada 17 juta kasus depresi, dengan 5 juta kasusnya memengaruhi demensia. Jumlah ini diperkirakan meningkat hampir 14 juta pada 2060, menurut laporan studi Penn.
Dalam penelitian di Denmark, ilmuwan menganalisis catatan kesehatan lebih dari 1,4 juta warganya dan mengidentifikasi sekitar 246.500 orang dengan diagnosis depresi baru antara tahun 1980 dan 2018.
Dari mereka yang didiagnosis depresi, 14.000 orang kemudian didiagnosis menderita demensia. Dalam kelompok perbandingan, sekitar 38.650 orang didiagnosis menderita demensia diketahui bahwa mereka sebelumnya didiagnosis menderita depresi.
Ini artinya, orang yang didiagnosis depresi memiliki kemungkinan 2,41 kali lebih besar untuk terdiagnosis demensia di kemudian hari.
Benarkah Pria Lebih Rentan Demensia Jika Pernah Depresi?
Menurut studi, hubungan antara depresi dan demensia pada pria dan wanita tetap ada, terlepas dari apakah depresi didiagnosis pada awal, pertengahan, atau akhir kehidupan.
Saat membandingkan perbedaan antar jenis kelamin, pria dengan depresi memiliki kemungkinan 3 kali lebih besar untuk didiagnosis menderita demensia, sedangkan wanita dengan depresi memiliki kemungkinan 2,2 kali lebih besar untuk didiagnosis.
"Kita tahu bahwa depresi lebih sering didiagnosis pada wanita dibandingkan pada pria, tetapi hubungan dengan demensia yang lebih kuat terjadi pada pria," jelas Elser.
Menurutnya, meski penelitian ini tidak mengeksplorasi alasan di balik perbedaan ini, ada spekulasi bahwa laki-laki mungkin mengalami depresi yang lebih parah. Hal ini pada gilirannya memberikan risiko lebih besar untuk menderita demensia.
"Saya pikir perbedaan jenis kelamin ini memerlukan eksplorasi lebih lanjut untuk mencoba mencari tahu mengapa hal ini terjadi," tambahnya.
Senada dengan Dr Elser, profesor di divisi psikiatri di University College London, Dr Natalie Marchant, juga mengatakan perlu adanya eksplorasi lebih jauh terkait hubungan yang lebih kuat pada laki-laki dibandingkan perempuan terkait dengan depresi dan demensia.
"Ini merupakan temuan menarik yang saya harap dapat dieksplorasi lebih lanjut. Hal ini mendukung gagasan bahwa kita perlu secara rutin mempertimbangkan faktor risiko demensia pada pria dan wanita secara terpisah karena mungkin ada mekanisme berbeda yang terlibat," ujarnya dalam laman CNN, dikutip Selasa (23/4/2024).
Sebagai informasi, bahwa depresi kerap ditemukan dengan banyak tanda, termasuk perasaan sedih dan cemas yang terlalu dalam juga berlarut, berpikir negatif secara berulang tentang diri sendiri, hingga memiliki perasaan tidak berharga.
Kondisi ini umumnya menyebabkan penurunan energi, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, dan masalah fisik lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam situs Kemenkes RI.
Penyebab paling umum adalah situasi stres yang menimpa, gangguan kesehatan mental dan fisik, serta faktor biologis dan genetik.
(faz/nwk)