Benarkah Marah Harus Dilampiaskan agar Lega? Studi Ungkap Faktanya

ADVERTISEMENT

Benarkah Marah Harus Dilampiaskan agar Lega? Studi Ungkap Faktanya

Luthfi Zian Nasifah - detikEdu
Kamis, 18 Apr 2024 21:00 WIB
Angry screaming male driver driving car. Driving training and fear of traffic car traffic concept
Foto: Getty Images/ozgurcankaya/ilustrasi marah
Jakarta -

Sebagian orang mungkin akan melampiaskan marah agar lebih lega. Hal ini banyak dianggap masuk akal sebagaimana membebaskan uap dari panci bertekanan tinggi. Namun, benarkah melampiaskan marah adalah hal yang tepat?

Para peneliti di Ohio State University menganalisis 154 studi tentang kemarahan dan hanya menemukan sedikit bukti bahwa melampiaskan amarah bisa membantu. Dalam sejumlah kasus, melampiaskan justru dapat meningkatkan kemarahan.

Penulis senior dan seorang ilmuwan komunikasi, Brad Bushman, berpikir untuk mematahkan mitos bahwa jika seseorang marah, maka harus mengeluarkan isi hatinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Melampiaskan amarah terdengar seperti ide bagus, tetapi tak sedikit pun bukti ilmiah yang mendukung teori katarsis (pelepasan emosi)," kata Bushman dikutip dari Science Alert.

Refleksi Jadi Hal Sederhana untuk Melampiaskan Emosi

Meski melampiaskan marah bukan hal yang valid secara ilmiah, bukan berarti kemarahan harus diabaikan. Penelitian menunjukkan bahwa untuk membantu memadamkan kemarahan bisa dengan refleksi.

ADVERTISEMENT

Menurut pakar, refleksi dapat membantu memahami alasan kemarahan dan mengatasi masalah mendasar. Refleksi juga membantu memvalidasi emosi menuju pemrosesan emosi yang sehat.

Studi juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik untuk mengusir amarah tidak meringankan suasana hati dan hanya bermanfaat bagi kesehatan.

Adapun kunci mengekang kemarahan adalah dengan mengurangi gairah fisiologis, baik dari kemarahan itu sendiri maupun dari aktivitas fisik yang mungkin bermanfaat.

"Untuk mengurangi kemarahan, lebih baik melakukan kegiatan yang menurunkan tingkat gairah," ungkap Bushman.

"Terlepas dari apa yang disarankan oleh kebijaksanaan populer, berlari atau berolahraga bukan menjadi strategi yang efektif karena dapat meningkatkan gairah dan menjadi kontraproduktif," imbuhnya.

Sementara itu, penulis pertama studi sekaligus ilmuwan komunikasi di Virginia Commonwealth University, Sophie Kjærvik, mengatakan bahwa penelitian ini terinspirasi dari anggapan populer tentang bagaimana cara membayar kemarahan, seperti menghancurkan benda dengan harapan dapat melampiaskan kemarahan.

"Saya ingin menghilangkan prasangka seluruh teori mengenai ekspresi kemarahan sebagai cara untuk mengatasinya. Kami ingin menunjukkan bahwa penting untuk mengurangi gairah dan aspek fisiologis sebenarnya," ujarnya.

Gambaran Kemarahan dan Kegiatan yang Dapat Mengurangi Tensinya

Berdasarkan teori dua faktor Schachter-Singer, tim merancang tinjauan yang menggambarkan amarah dan emosi lainnya sebagai fenomena dua bagian yang masing-masing terdiri dari komponen fisiologis dan kognitif.

Menurut Kjærvik dan Bushman, sebelumnya terdapat penelitian yang berfokus pada sudut kognitif, mengkaji bagaimana terapi kognitif perilaku dapat membantu individu mengubah pemaknaan mental yang mendasari ekspresi kemarahan mereka.

Studi menyatakan bahwa pendekatan tersebut dapat berhasil, tetapi juga menyoroti opsi lain dalam meredakan kemarahan. Selain itu, terapi perilaku kognitif konvensional tidak selalu efektif untuk semua jenis pikiran.

Studi Kjærvik dan Bushman meneliti berbagai aktivitas yang meningkatkan dan mengurangi gairah, mulai dari bersepeda, tinju, jogging, dan lain sebagainya. Mereka menemukan berbagai kegiatan yang menenangkan dapat mengurangi kemarahan.

Aktivitas yang efektif mengurangi gairah termasuk yoga aliran lambat, perhatian penuh, relaksasi otot progresif, istirahat, dan pernapasan diafragma.

"Relaksasi otot progresif dan relaksasi secara umum sama efektifnya dengan pendekatan seperti mindfulness dan meditas. Dibandingkan meditasi, yoga lebih menggairahkan sebagai cara menenangkan dan memusatkan perhatian pada napas dengan efek serupa untuk mengurangi amarah," ucap Kjærvik.

Para peneliti merekomendasikan untuk menyurutkan amarah daripada melampiaskannya. Cara yang menenangkan terbukti dapat meredakan stres dan merampas bahan bakar fisiologis kemarahan.

"Strategi yang sama terbukti berhasil mengatasi stres sebenarnya berhasil mengatasi kemarahan. Mendemonstrasikan bahwa pendekatan yang efektif dalam mengatasi stres juga terbukti efektif dalam mengelola kemarahan memberikan manfaat yang signifikan," terang Kjærvik lebih lanjut.

Untuk memperjelas temuan, para peneliti mengatakan teknik menenangkan sebagai pilihan terbaik menyurutkan amarah.

Kjærvik merekomendasikan untuk membuat janji temu dengan terapis perilaku kognitif untuk mengatasi amarah atau menemukan video di platform online sebagai panduan.




(faz/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads