Pelaksanaan salat Idul Fitri pada era kolonial Hindia Belanda tidak dilarang, bahkan diizinkan di tempat terbuka. Pada saat itu pemerintah kolonial turut menyediakan transportasi ekstra dan penggunaan pengeras suara tidak dilarang.
Salah satu yang diliput oleh media kala itu adalah di Waterlooplein (Lapangan Waterloo) yang kini merupakan Lapangan Banteng.
"Tahun ini adalah kedua belas kalinya ibadah ritual semacam itu diselenggarakan di tempat terbuka di ibukota negara," tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, halaman 6 kolom 2 (9 November 1939), dikutip dari arsip detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum hari raya, media telah mewartakan apakah Aidil Fitri-gebed atau salat Ied di Waterlooplein jadi diselenggarakan atau tidak. Panitia untuk salat Id di sana terdiri atas 14 organisasi massa dan memperoleh dukungan dari berbagai pihak.
Pada saat Hari Raya Idul Fitri, dikerahkan tram ekstra dari Meester-Cornelis dan Benedenstad (Batavia Lama) untuk memudahkan mobilitas umat Islam menuju Waterlooplein.
Ketika ibadah Hari Raya Idul Fitri sebagaimana pada warta tersebut diberikatakan, yang bertindak sebagai khotib adalah Hadji Mochtar, mantan anggota Mohammadijah. Sementara, yang bertindak sebagai imam adalah Hadji Mohammad Isa, Ketua Hof voor Islamietische Zaken.
Kolonial Tak Pernah Serius Ikut Campur Peribadatan
Pemerintah kolonial Hindia dapat dikatakan tak pernah serius ikut campur dalam urusan peribadatan para pribumi. Mereka pun tak peduli dengan kemeriahan perayaan Ramadan ataupun Idul Fitri. Namun ada pengecualiannya, yakni aktivitas keagamaan yang berpotensi menimbulkan kekacauan dan mengusik ketertiban.
"Buat mereka adalah memastikan agar Islam hanya sibuk pada peribadatan, bukan hal-hal politis," ungkap sejarawan JJ Rizal kepada CNNIndonesia (2021), dikutip Senin (8/4/2024).
Pada pelaksanaan haji misalnya, mulai jadi perhatian saat pribumi membawa pemikiran baru dari Timur Tengah, yang dicemaskan Belanda akan membawa pemberontakan atau pembangkangan.
Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java mengayakan orang Jawa yang kembali dari Makkah sangat mudah menarik simpati, maka tak sulit untuk mereka mengobarkan pemberontakan.
Guna mengawasi aktivitas pribumi, Rizal menyebut Hindia Belanda mendirikan Het Kantoor Voor Indlandsche Zaken atau Penasihat Urusan Pribumi. Kendati begitu, menurut Rizal fungsi lembaga tersebut tepat disebut sebagai alat untuk melaksanakan ide politik Snouck Hurgronje yakni penjinakan Islam sebagai aspirasi politik.
Almarhum Budayawan Betawi, Ridwan Saidi pernah menyebut Het Kantoor Voor Indlandsche Zaken bahkan memegang otonomi untuk menentukan awal Ramadan dan Idul Fitri.
"Dia yang menetapkan puasa kapan. Dia yang menetapkan lebaran kapan, dan dia itu mempunyai menara-menara untuk melihat bulan," kata Ridwan pada 2021 lalu kepada CNNIndonesia.
Tradisi yang Hilang Saat Lebaran
Awal Ramadan ketika masa kolonial ditandai dengan dentuman bedug yang saling bersambut, bukan melalui surat kabar ataupun radio. Namun, dia menyebut ada satu tradisi yang sekarang mulai hilang ketika lebaran. Sata itu, kata dia, pada perayaan Idul Fitri ada tradisi merekap anggota keluarga yang sudah hilang.
Sesama kerabat, keluarga, atau tetangga saling mengingat keluarga yang sudah wafat. Ridwan menjelaskan, masyarakat pribumi membuat rekapitulasi siapa yang sudah wafat dan sebagainya.
Ridwan pun mengingat libur sekolah saat Ramadan mulai diterapkan sejak sistem pendidikan modern masuk Hindia Belanda pada abad 20.
Sistem tersebut diterapkan pemerintah kolonial di bawah Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan yang selanjutnya berubah jadi Departemen Pendidikan dan Agama pada 1912.
Pemerintah kolonial meliburkan semua sekolah di bawah binaan mereka mulai jenjang dasar HIS sampai menengah atas (HBS dan AMS) selama bulan puasa dan beberapa hari setelah lebaran.
(nah/nwy)