Ketupat menjadi makanan khas yang selalu ada pada hari lebaran. Ketupat merupakan makanan dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman pucuk daun kelapa dan direbus sampai matang.
Ketupat adalah lambang permintaan maaf dan berkah (Pakri, 2015). Beras dianggap sebagai lambang nafsu, sedangkan daun janur adalah singkatan dari jatining nur yang dalam bahasa Jawa berarti hati nurani.
Dikutip dari buku Kajian Etnomatika pada Budaya Indonesia oleh Mega Teguh Budiarto dkk, ketupat digambarkan sebagai lambang nafsu dan tipu daya. Maksudnya, manusia harus mampu menahan nafsu dunia dengan hati nuraninya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam bahasa Sunda, ketupat disebut pula sebagai kupat, yang berarti manusia tidak boleh ngupat, yaitu membicarakan hal-hal yang buruk kepada orang lain. Ketupat atau kupat diartikan sebagai jarwa dhosok yang juga berarti ngaku lepat. Hal ini mengandung pesan, seseorang harus meminta maaf saat melakukan kesalahan.
Filosofi Ketupat
Anyaman pembungkus ketupat melambangkan catatan kesalahan manusia. Kemudian, isinya berupa nasi yang berwarna putih mencerminkan kebersihan dan kesucian hati manusia setelah memaafkan orang lain.
Bentuk ketupat yang sempurna adalah lambang kemenangan umat Islam setelah sebulan berpuasa sebelum Idul Fitri. Nasinya sendiri dimaknai sebagai simbol kemakmuran dan kebahagiaan.
Adapun bungkus hijau kekuning-kekuningan dianggap sebagai salah satu tolak bala atau tolak sial. Kemudian, daun kelapa muda yang mudah dibentuk, lentur, dan kondisinya baik menggambarkan sifat manusia yang mudah dibentuk, diarahkan, dan dididik agar kehidupannya indah. Kulit ketupat yang diisi beras berarti kembali ke fitrah.
Sejarah Ketupat
Dikutip dari arsip detikEdu, ketupat telah dikenal sejak abad ke-15 pada masa Kerajaan Demak. Ahli sejarah dari Belanda, Hermanus Johannes de Graaf dalam bukunya yang bertajuk Malay Annual, disebutkan ketupat pertama kali muncul di daerah Jawa, zaman Kerajaan Demak. Pada saat itu, bentuk ketupat mirip dengan apa yang dikenal sekarang dan juga direbus dengan anyaman daun kelapa.
Berdasarkan catatan Hermanus Johannes de Graaf, hadirnya ketupat di tengah masyarakat Jawa merupakan bagian dari penyebaran agama Islam yang dibawa Sunan Kalijaga. Saat itu, diketahui mayoritas penduduk Jawa masih memeluk agama kepercayaan yang dikenal sebagai Kejawen.
Lalu Sunan Kalijaga menggunakan ketupat untuk melakukan pendekatan budaya dalam berdakwah. Pasalnya, ketupat dipercaya dapat menjadi alat yang lebih familiar untuk pendekatan dakwah, dengan kebudayaan masyarakat Jawa yang kental ketika itu.
Ketupat dijadikan budaya dan filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai keislaman, sehingga terdapat akulturasi budaya antara keduanya. Baru ketika agama Islam mulai diterima luas, ketupat melekat sebagai hidangan yang khas dalam perayaan agama Islam, misalnya Idul Fitri.
(nah/nwk)