Kenapa Awan Kumulus Menghilang saat Gerhana Matahari? Ini Alasannya

ADVERTISEMENT

Kenapa Awan Kumulus Menghilang saat Gerhana Matahari? Ini Alasannya

Luthfi Zian Nasifah - detikEdu
Rabu, 03 Apr 2024 11:30 WIB
Total eclipse of the Sun. The moon covers the sun in a solar eclipse.
Foto: Getty Images/iStockphoto/Pitris/Ilustrasi Gerhana Matahari
Jakarta -

Saat fenomena gerhana Matahari terjadi, ternyata beberapa hal bisa memengaruhi Bumi dan memunculkan fenomena unik. Beberapa di antaranya adalah adanya perbedaan perilaku hewan dan gelombang di ionosfer.

Seperti yang diketahui bahwa gerhana Matahari membuat Bumi gelap untuk beberapa waktu. Transisi gelap pada siang hari ini membuat hewan merasakan efeknya. Terutama hewan diurnal atau hewan yang aktif pada siang hari dan tidur pada malam hari.

Diketahui, bahwa hewan diurnal kebingungan karena gelap dan mengira sudah malam, sehingga mereka kurang aktif. Sebaliknya, hewan nokturnal menjadi aktif saat gerhana Matahari berlangsung karena gelap.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain perilaku hewan, fenomena lain yang muncul adalah tutupan awan kumulus yang rendah turun dan menghilang saat gerhana Matahari. Kenapa ya?

Penelitian Selama Gerhana Matahari

Para peneliti menemukan bahwa tutupan awan kumulus rata-rata turun lebih dari 4 kali lipat saat bayangan bulan melewati Bumi selama gerhana cincin.

ADVERTISEMENT

Studi ini dilakukan peneliti mengingat gerhana Matahari bisa terjadi 2 sampai 5 kali dalam satu tahun, sehingga mereka ingin tahu apa saja efek yang muncul di Bumi.

Ahli geosains di Delft University of Technology di Belanda, Victor JH Trees, mengatakan bahwa fenomena menghilangnya awan kumulus merupakan eksperimen unik yang bisa dijadikan peluang penelitian.

Untuk menemukan hasilnya, Trees dan rekan penelitiannya menganalisis data tutupan awan yang diperoleh saat gerhana cincin tahun 2005 yang terlihat di beberapa bagian Eropa dan Afrika.

Mereka menggali citra tampak dan inframerah yang dikumpulkan oleh dua satelit geostasioner yang dioperasikan oleh Organisasi Eropa untuk Eksploitasi Satelit Meteorologi.

"Jika ingin sungguh-sungguh mengukur bagaimana perilaku awan dan reaksi mereka terhadap gerhana Matahari, kuncinya adalah pergi ke luar angkasa karena area tersebut luas," ucap Trees, dikutip dari Live Science.

Para peneliti fokus pada wilayah persegi yang membentang 5 derajat pada garis lintang dan garis bujur yang berpusat di Sudan Selatan.

Melalui sudut pandang yang luas, para peneliti melacak evolusi awan selama beberapa jam sebelum gerhana, ketika berlangsungnya gerhana dan beberapa jam setelah gerhana.

Ini yang Terjadi pada Awan saat Gerhana Matahari

Peneliti mengatakan bahwa awan kumulus tingkat rendah yang biasanya muncul di ketinggian sekitar 2 kilometer dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat pengaburan Matahari.

Tutupan awan ini berkurang saat sekitar 15% permukaan Matahari telat tertutup, kira-kira 30 menit setelah gerhana Matahari dimulai.

Tim peneliti mencatat bahwa awan kembali seperti semula hanya sekitar 50 menit setelah gerhana Matahari total. Sekalipun tutupan awan umumnya berpendar 40% saat tanpa gerhana, kurang dari 10% langit tertutup awan selama gerhana maksimum.

"Dalam skala besar, awan kumulus mulai menghilang," ujar Trees.

Dalam upaya penggalian ilmu fisika di balik observasi Trees dan rekan-rekan penelitinya, mereka mengumpulkan data pengukuran suhu permukaan tanah dari dua satelit geostasioner yang sama.

Awan kumulus juga berkaitan erat dengan suhu Bumi, yang juga dipengaruhi secara signifikan oleh apapun yang terjadi di permukaan Bumi.

Maka dari itu, suhu permukaan daratan turun juga karena bulan semakin menutupi cahaya Matahari ke Bumi.

"Kami tahu jika perubahan kecil sekalipun pada radiasi matahari berdampak pada suhu permukaan tanah," kata Virendra Ghate, ilmuwan atmosfer di Argonne National Laboratory di Lemont, Illinois.

Peneliti memperkirakan bahwa suhu permukaan tanah berubah maksimum hampir 6 derajat Celcius pada gerhana tahun 2005. Peneliti juga mencatat bahwa suhu permukaan Bumi cenderung turun seiring dengan peningkatan pengaburan, dan perubahan ini terjadi tanpa adanya jeda yang mencolok.

Temuan ini pun sejalan dengan hasil observasi yang dilakukan pada fenomena gerhana Matahari pada kesempatan lain.

Tutupan Awan Mengikuti Suhu Permukaan Tanah

Penurunan suhu permukaan tanah secara drastis selama gerhana Matahari ini yang kemudian mendorong perubahan tutupan awan kumulus.

Ghate menganggap hal ini masuk akal karena pembentukan awan kumulus ketika udara relatif hangat dan lembab naik dari permukaan Bumi, mendingin dan kemudian mengembun menjadi tetesan awan.

"Turunnya suhu permukaan tanah mengecilkan gradien suhu di dekat permukaan Bumi. Sehingga gaya yang lebih kecil mendorong udara pembentuk awan ke atas," tuturnya.




(faz/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads