Yogyakarta identik dengan tugunya. Di beberapa produk oleh-oleh jogja juga banyak tergambar Tugu Jogja yang ikonik. Faktanya, tidak hanya bentuknya yang simbolis, tapi juga sejarah Tugu Jogja begitu menarik karena ada campur tangan Pemerintah Belanda.
Tugu Jogja bernama asli Tugu Pal Putih. Tugu ini terletak di sebelah utara Jalan Mangkubumi. Saat ini kita bisa melihat Tugu Jogja di perempatan antara Jalan Mangkubumi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan A.M. Sangaji, dan Jalan Diponegoro.
Dikutip dari laman Jogja Cagar, Tugu Jogja dibangun pertama kali tahun 1757 oleh Kraton Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Hamengku Buwana I.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tugu Jogja berbentuk silinder yang disebut dengan gilig, dan di atasnya terdapat 'bolo' atau puncak yang disebut dengan golong dan tinggi sekitar 25 meter. Tugu ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa dalam melawan penjajah Belanda.
Karena itu Tugu Jogja kadang disebut juga Tugu Golong Gilig. Pada 10 Juni 1867 terjadi gempa yang mematahkan Tugu Golong Gilig menjadi tiga bagian. Selama beberapa tahun tugu yang patah ini terbengkalai.
Kemudian muncullah desakan untuk membangun kembali tugu ini yang akhirnya terwujud pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pemerintah Belanda terlibat dalam pembangunan tersebut.
Dilaksanakan oleh J.W.S. Van Brussels yang saat itu menjabat sebagai Opzichten Van Waterstaat (Kepala Dinas Pekerjaan Umum) dengan pihak Kraton Yogyakarta sebagai pengawas yang diwakilkan oleh Patih Danureja V.
Tugu kemudian diresmikan HB VII pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 Tahun Jawa. Pemerintah memberi nama De Witte Paal (Tugu Putih). Penamaan tersebut didasarkan pada fungsi tugu sebagai paal atau tonggak yang dicat/dikapur putih hingga tampak jelas dari kejauhan.
Namun ada interpretasi bahwa nama Tugu Pal Putih merupakan pemberian dari Pemerintah Belanda sebagai taktik Belanda untuk memecah persatuan antara rakyat dan raja. Akan tetapi, upaya tersebut tidak berhasil.
Sebagai pihak yang merenovasi tugu, Pemerintah Belanda juga memunculkan bentuk-bentuk yang sangat berbeda dengan pendahulunya. Tugu silinder tidak lagi dimunculkan dan diganti dengan segi empat meruncing.
Dilihat secara keseluruhan, bentuk Tugu Pal Putih terbagi menjadi 3 bagian. Bagian atas berbentuk seperti mahkota dengan uliran meruncing ke atas. Bagian tengah berbentuk segi empat dengan keempat sisi yang memiliki inskripsi. Bagian bawah berupa tangga berjumlah empat sebagai pondasi tugu agar kokoh.
Saat ini, Tugu Jogja memiliki tinggi 12 meter di atas permukaan tanah. Bentuk-bentuknya dikombinasi dengan hiasan, pemberian batas-batas luar, warna Tugu, dan jalur hijau yang hijau yang dulu pernah mengelilingi tugu.
Nilai Simbolis dan Filosofinya
Tugu Jogja digunakan sebagai landmark kota Yogyakarta yang dijadikan monumen penanda berdirinya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dengan dipimpin oleh seorang sultan.
Dengan nama tugu Golong Gilig yang terinspirasi dari bentuknya saat pertama kali dibuat, memunculkan filosofi masyarakat Yogyakarta, yakni manunggaling kawulo lan Gusti. Konsep ini diwujudkan dalam bentuk golong dan gilig dan diletakkan pada garis lurus imajiner dari keraton ke Puncak Merapi yang berjarak 2,5 kilometer dari keraton.
Tugu Jogja memiliki nilai-nilai simbolis dengan hiasan-hiasan yang memiliki simbol Jawa. seperti keris Hasta Karya, panah, daun waru, daun loto, daun teratai, janget kinatelon, bentuk praba, bintang sudut enam, deretan titik atau ceceg, wajik, bentuk tetes air dan setiliran.
Di keempat sisi tugu terdapat tulisan aksara Jawa dan prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi tugu.
Sri Sultan mengisahkan arsitektur dan filosofi keberadaan Keraton dari Regol Kemagangan ke selatan sampai Siti Hinggil di Alun-Alun Kidul tidak ada bangunan yang dicat berwarna, tetapi hanya diplitur.
Ini menjadi simbol sebelum kelahiran manusia. Baru di Kemagangan terlihat warna-warni cat yang menandai di situlah kelahiran manusia.
Sri Sultan juga menaruh nilai di Tugu Jogja sebagai tempat mencapai keimanan dan ketakwaan yang sebenarnya. Tugu ini juga merupakan salah satu bagian dari garis imajiner yang menghubungkan Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi.
(pal/pal)