Antropolog Unair: Ada Nilai-nilai Mulia dalam Tradisi Ramadan yang Libatkan Makanan

ADVERTISEMENT

Antropolog Unair: Ada Nilai-nilai Mulia dalam Tradisi Ramadan yang Libatkan Makanan

Novia Aisyah - detikEdu
Senin, 18 Mar 2024 03:00 WIB
Sate keong khas kuliner Megengan di Demak, Senin (11/3/2024).
Tradisi megengan Demak. Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng
Jakarta -

Indonesia memiliki budaya yang melimpah saat jelang Ramadan ataupun selama Ramadan. Ada tradisi meugang di Aceh, malamang di Sumatera Barat, dan lainnya.

Menurut Antropolog Universitas Airlangga (Unair), Djoko Adi Prasetyo, tradisi-tradisi ini bukan tanpa sebab, melainkan ada keterlibatan agama.

Djoko mengatakan ada nilai-nilai mulia dalam tradisi yang melibatkan makanan. Sebagai contoh pada kue apem yang terdapat dalam tradisi Jawa, memiliki nilai permohonan maaf.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Adanya saling mengeratkan tali persaudaraan, permohonan maaf baik itu kepada tetangga atau kepada sanak saudara yg selama ini sangat jarang berinteraksi sosial secara "luring" karena kesibukannya. Juga terkandung nilai berbagi rezeki berupa makanan kue apem, yg memiliki makna permintaan maaf," jelasnya, dikutip dari rilis Unair.

Djoko menyebut ada banyak tradisi pada saat Ramadan yang berangkat dari rasa syukur akan datangnya bulan puasa. Bentuk syukur tersebut kemudian diwujudkan ke dalam pesta makan.

ADVERTISEMENT

Sementara menurut Djoko, tradisi megengan di Jawa Timur juga bertujuan untuk mendoakan anggota keluarga atau nenek moyang yang sudah meninggal. Selain sebagai suatu bentuk rasa syukur dengan selamatan, megengan juga disebut sebagai suatu permohonan agar dikuatkan lahir dan batin saat berpuasa.

"Megengan diambil dari kata megeng yang artinya menahan. Makna tradisi ini sendiri ialah menahan segala hal yang dapat membatalkan puasa seperti makan dan minum," kata Djoko.

"Megengan artinya juga keselamatan agar tetap terjaga selama menghadapi bulan Ramadan," imbuhnya.

Djoko menjelaskan secara antropologis kebudayaan bisa berkembang dipengaruhi oleh agama. Dia menyebut, agama adalah sesuatu yang universal, final, abadi, dan tak bisa berubah. Maka dari itu agama yang dianut oleh masyarakat akan menciptakan kebiasaan-kebiasan baru dalam masyarakat hingga kebiasaan tersebut menjadi suatu tradisi.

Dia menuturkan, agama dan budaya berjalan saling memengaruhi karena mempunyai simbol dan nilai. Kendati begitu agama dan budaya harus tetap dibedakan.

Djoko memaparkan, agama adalah simbol nilai ketaatan manusia kepada Tuhan. Sementara, budaya adalah simbol nilai dan norma dalam kehidupan manusia dan masyarakat.




(nah/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads