Ada banyak museum yang terletak di Jakarta, salah satunya Museum Kebangkitan Nasional yang terletak di Senen, Jakarta Pusat. Sebelum beralih jadi museum, bangunan tersebut dahulu berfungsi sebagai sekolah kedokteran.
Pada era Hindia Belanda, gedung tersebut merupakan sekolah kedokteran bernama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera.
Sekolah STOVIA berada di kota Batavia, yang kini telah berganti nama menjadi DKI Jakarta. Walau bangunannya telah beralih menjadi museum, namun detikers masih bisa melihat peninggalan sejarah STOVIA.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ingin tahu lebih banyak tentang STOVIA? Simak pembahasannya dalam artikel ini.
Mengenal Sejarah STOVIA
Berdirinya sekolah kedokteran STOVIA berawal dari kondisi kesehatan masyarakat di Batavia yang memburuk karena penyakit malaria. Para dokter sampai tak sanggup menangani pasien karena jumlah dokter masih sedikit saat itu.
Mengutip e-jurnal milik ui.ac.id, adanya wabah malaria membuat Dr Willem Bosch mengusulkan untuk mendidik pemuda-pemuda Jawa menjadi tenaga kesehatan. Berdasarkan keputusan pemerintah Belanda pada 1849, dibangunlah sekolah kedokteran di Hindia Belanda dengan nama Sekolah Dokter Djawa.
![]() |
Sekolah tersebut secara resmi dibuka pada 1851. Berlokasi di Weltevreden, Sekolah Dokter Djawa berfungsi untuk membantu rumah sakit militer di Batavia. Lulusan dari sekolah itu nantinya ditugaskan sebagai 'mantri cacar' atau asisten dokter.
Sebab, masyarakat di Batavia tak hanya terpapar malaria, namun juga terserang penyakit cacar. Jumlah pasiennya yang membludak membuat pemerintah Hindia Belanda harus putar otak untuk mengatasi penyakit tersebut.
Singkat cerita, pada 1902 Sekolah Dokter Djawa berkembang dan berganti nama menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera.
Namun, pada 1913 nama sekolahnya berubah menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen. Lulusan dari sekolah kedokteran tersebut berubah menjadi Indisch Arts. Perubahan itu turut mempengaruhi kualitas lulusan yang lebih baik dari sebelumnya.
Pendidikan di STOVIA
Pada 1902, masa studi kedokteran di STOVIA berlangsung selama tujuh tahun. Awalnya, STOVIA hanya menerima lulusan dari Europeesche Lagere School atau yang sederajat.
STOVIA terdiri dari dua jurusan, yakni jurusan persiapan dengan masa studi tiga tahun. Lalu jurusan kedokteran dengan masa studi lima tahun, yang kemudian berkembang menjadi tujuh tahun.
![]() |
Pada awal dibuka, STOVIA hanya menerima siswa dari kalangan priyayi Jawa. Namun, seiring berjalannya waktu pihak STOVIA kemudian membuka pendaftaran untuk siswa baru yang berasal dari sekolah di Eropa dan Cina.
Pelajar STOVIA diharuskan tinggal di asrama yang menerapkan disiplin ketat. Semua kegiatan pelajar telah terjadwal dari pagi sampai malam. Selain itu, ada pengawas yang selalu memantau kegiatan siswa yang disebut suppoost.
Kurikulum yang dipakai selama pendidikan kedokteran di STOVIA juga menyesuaikan dengan sekolah di Belanda. Langkah ini diambil agar kualitas lulusan STOVIA bisa setara dengan dokter lulusan di Belanda.
Sekolah Kedokteran Pengganti STOVIA
Jumlah pelajar yang mendaftar di STOVIA terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sayangnya, ruang kelas di gedung STOVIA sudah terlalu penuh, sehingga pada 1917 jumlah murid yang diterima dibatasi sebanyak 25 orang saja.
Mengutip jurnal Berkala Ilmu Kedokteran oleh Radiopoetro, sejak 1919 sekolah kedokteran mulai dipindahkan ke gedung baru di Salemba (kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
Sementara itu, para pelajar melakukan praktik kedokteran di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting atau disebut Rumah Sakit Pusat. Sekarang, gedung tersebut berfungsi menjadi Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM).
![]() |
Sejak 1927, STOVIA secara resmi tidak menerima siswa baru. Sekolah tersebut hanya melanjutkan pendidikan bagi para siswanya yang masih menempuh studi.
Para pelajar yang masih duduk di tingkat rendah kemudian diberi kesempatan untuk pindah ke AMS (Algemeen Midelbaar School) atau NIAS (Nederlands Indische Artsen School) di Surabaya.
Sedangkan pelajar di tingkat tinggi bisa menyelesaikan studinya di GHS (Geneeskundige Hoogeschool) yang berlokasi di Batavia. GHS sendiri merupakan sekolah tinggi kedokteran yang menggantikan STOVIA.
Gedung STOVIA di Masa Kini
Ketika Jepang masuk ke Tanah Air pada 1942, gedung bekas sekolah STOVIA kemudian beralih fungsi sebagai kamp tahanan eks tentara Belanda dari 1942 sampai 1945.
Setelah Indonesia menyatakan merdeka, gedung tersebut kemudian dipakai oleh eks tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) Batalyon V sejak 1945 hingga 1973.
Mengutip laman Kemdikbud, Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sempat melakukan pemugaran terhadap gedung STOVIA pada 1973 karena dinilai memiliki sejarah penting. Pada 27 September 1982, pengelolaan gedung STOVIA kemudian diserahkan oleh Gubernur DKI Jakarta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Baru pada 20 Mei 1974, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, bangunan tersebut diresmikan menjadi Gedung Kebangkitan Nasional Oleh Presiden RI Kedua, Soeharto.
Awalnya, gedung tersebut terbagi menjadi empat bagian dan semuanya dioperasikan sebagai museum, mulai dari Museum Budi Utomo, Museum Kesehatan, Museum Wanita, dan Museum Pers.
Lalu pada 7 Februari 1984, bangunan tersebut resmi diubah menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Karena memiliki nilai sejarah penting, museum itu ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi.
Bagi kamu yang ingin berkunjung, lokasi Museum Kebangkitan Nasional berada di Jalan Abdul Rachman Saleh Nomor 26, Senen, Jakarta Pusat.
Demikian penjelasan mengenai lokasi sekolah kedokteran STOVIA beserta sejarahnya. Semoga artikel ini dapat menambah pengetahuan detikers.
(ilf/fds)