Perubahan iklim memang menjadi tantangan terbesar makhluk hidup di Bumi. Beberapa waktu lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan bila perubahan iklim bukan untuk menakut-nakuti ataupun kabar bohong semata.
Bukan sebuah prediksi belaka, beberapa penelitian menyoroti apa yang terjadi pada Bumi di masa depan karena perubahan iklim. Salah satunya adalah penelitian yang diterbitkan di jurnal Earth System Dynamics pada 30 Agustus 2018 lalu.
Studi yang dilakukan oleh para ilmuwan di Inggris dan Belanda itu mengklaim ada kejadian yang mungkin terjadi pada Bumi di tahun 2035. Kejadian itu bernama titik yang tidak bisa kembali lagi atau point of no return.
Point of no return memungkinkan kenaikan suhu Bumi sebesar 2Β°C yang bisa menjadi sumbu rangkaian bencana global berbahaya lainya. Matthias Aengenheyster, penulis utama dan peneliti doktoral dari Universitas Oxford menjelaskan konsep kejadian ini tetap memiliki sisi positif.
"Konsep 'point of no return' memiliki sisi positif dan keuntungan karena mengandung informasi waktu," jelasnya dikutip dari laman How Stuff Works.
Dengan mengetahui waktu pasti point of no return terjadi, hasil penelitian bisa disebarkan kepada dunia. Sehingga para petinggi bisa membuat kebijakan dalam mengambil tindakan perubahan iklim.
Dampak Kenaikan Suhu Bumi 2Β°C
Suhu 2Β°C sangat penting bagi kesejahteraan Bumi. Ketika suhu Bumi bertambah 2Β°C para ilmuwan memperkirakan akan terjadi serangkaian dampak bencana.
Mulai dari banjir yang meluas ke wilayah pesisir, gelombang panas yang tak tertahankan hingga badai ekstrem. Lalu, apa yang bisa dilakukan manusia?
Fenomena ini mungkin saja tidak bisa terhindarkan, tetapi manusia tetap bisa memperlambat pergerakan menuju point of no return pada 2035. Caranya dengan transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan.
Para ilmuwan telah menghitung bahwa seluruh dunia harus menggunakan energi terbarukan dan harus tumbuh setidaknya 2% setiap tahun. Sehingga pergerakan menuju perubahan iklim bisa diperlambat.
Memang angka ini terdengar tidak terlalu besar. Tetapi, fakta di lapangan berbicara lain. Sejak tahun 2017, persentase perubahan ke energi terbarukan hanya tumbuh sebesar 3,6%.
Namun jika penggunaan energi terbarukan berhasil diterapkan, Bumi bisa bernafas lega. Karena batas waktu perubahan iklim bisa mundur setidaknya satu dekade.
Tidak hanya transisi bahan bakar fosil, langkah menghilangkan karbon dioksida dan gas lain dari atmosfer juga bisa membantu perlambat perubahan iklim. Karena gas-gas ini dapat mengubah atmosfer Bumi dan menangkap lebih banyak panas dari matahari, sehingga kenaikan suhu meningkat.
Rekan Aengenheyster, Henk Dijkstra profesor Universitas Utrecht Belanda yang ikut dalam penelitian ini berharap Bumi memiliki lebih banyak tenggat waktu. Sehingga para politisi dan pembuat kebijakan bisa memprioritaskan perihal perubahan iklim.
"Kini, waktu yang tersisa sangat sedikit," tutupnya.
(det/faz)