Baru-baru ini, wilayah Rancaekek di Jawa Barat dihebohkan dengan hujan disertai puting beliung pada Rabu, (21/2). Di belahan dunia lain, California, Amerika Serikat, juga dihujani dengan badai selama 5 hari berturut-turut.
Tak hanya menurunkan air hujan, badai juga membawa angin kencang yang mencabut pohon hingga ke akarnya. Melihat fenomena ini, para ilmuwan pun turun tangan.
Mereka melepaskan peralatan dari pesawat ke jalur badai. Perangkat kecil namun canggih ini memberikan informasi penting yang akan membantu meningkatkan prakiraan cuaca.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian mengenai gumpalan uap air di udara yang diambil dari daerah tropis Pasifik telah berkembang dalam tiga dekade terakhir. Namun ilmuwan masih sulit memprediksi bagaimana badai tertentu akan terjadi.
Para ilmuwan berupaya memahami percakapan berlapis dan rumit yang terjadi di lautan, atmosfer, dan daratan, serta berharap mendapatkan wawasan yang lebih kuat tentang bagaimana, kapan, dan di mana badai akan melanda.
"Semakin banyak yang kita pelajari, semakin kita menyadari bahwa kita memerlukan lebih banyak data mengenai hal ini," kata Maike Sonnewald, pemimpin kelompok komputasi iklim dan lautan di UC Davis dalam The Guardian dikutip Jumat (23/2/2024).
Perubahan Iklim
Sonnewald, seorang ahli kelautan menambahkan bahwa kemajuan terkini dalam era satelit membantu memberikan gambaran tentang bagaimana laut dan atmosfer berinteraksi.
"Iklim sedang berubah, kita membuat bumi semakin panas, dan hal itu sudah diketahui. Detailnya sulit untuk dilihat," kata Sonnewald.
Atmosfer yang memanas dapat menampung lebih banyak uap air dan suhu permukaan laut yang memanas akan menguap lebih cepat, sehingga para ilmuwan dapat dengan mudah memperkirakan bagaimana keadaan akan menjadi lebih buruk. Lebih sulit untuk mengetahui kapan dan di mana.
Curah Hujan Akan Lebih Intens Imbas Gas Rumah Kaca
Alex Hall, fisikawan atmosfer di UCLA memperkirakan curah hujan akan semakin intens akibat gas rumah kaca di atmosfer.
"Hal yang menakutkan adalah jika kita melihat ke masa depan pada titik di mana kita mengalami pemanasan dua kali lebih banyak dibandingkan saat ini, maka akan terjadi peristiwa yang 20% lebih intens, dan peristiwa-peristiwa yang sama sekali baru yang bahkan belum pernah terjadi saat ini," ujarnya.
(nir/nwk)