Orang tua yang memperlakukan anak perempuan dan anak laki-laki dengan setara, bisa mendukung anak yakin pada dirinya hingga dapat memimpin dengan baik di dunia kerja. Di sisi lain, anak perempuan yang dibedakan dengan saudara laki-lakinya akan memandang peran kepemimpinan sebagai tugas, dapat mengatasi tantangan yang ada tetapi terbatas.
Hasil studi tersebut dijelaskan Prof Corina D Riantoputra, PhD, Psikolog, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) dalam rangkaian perayaan International Day of Women in STEM di Koneksi Connect #2, Breaking Barriers: Women Leadership in Science and Research di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Selasa (20/2/2024).
"Studi 10 tahun terakhir bergeser dari bagaimana seseorang dapat menjadi seorang pemimpin di organisasi ke perspektif sepanjang hayatnya. Ada gagasan bahwa seseorang hanya bisa dan mau sepenuh hati menjadi pemimpin jika ia punya identitas sebagai pemimpin. Artinya, mereka punya keyakinan bahwa mereka bisa berkontribusi penting di organisasi apapun yang mereka geluti," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peran Orang Tua buat Kepemimpinan Anak Perempuan saat Kerja
Corina mengatakan, studinya dan Eka Gatari dalam "Woman Leaders in Indonesia: Current Picture and Strategies for Empowerment" tersebut dilakukan pada bidan di tiga provinsi di Indonesia.
Pada studi ini, mereka coba menggali seberapa jauh para perempuan berprofesi bidan meyakini bahwa ia dapat berkontribusi penting dan mengelola tantangan yang dihadapi.
Hasil studinya pada para bidan mendapati orang tua yang memperlakukan dan memandang anak perempuan dan laki-lakinya dengan setara rupanya berdampak signifikan pada sang anak ketika sudah memasuki dunia kerja dan menjadi pemimpin.
"Ada satu faktor yang saya coba kontrol. Dengan regresi berganda, satu variabel kontrol, sejauh apa orang tua memperlakukan anak laki-laki dan perempuannya dengan setara. Namun sebagai variabel kontrol, saya coba menekan faktor ini agar tidak memengaruhi semua model, 3 tahap model," jelasnya.
"Menariknya, kendati ditekan, variabel ini muncul sebagai variabel signifikan, prediktor di model final. Artinya, orang tua yang memperlakukan dan memandang anak laki-laki dan anak perempuanya setara akan punya dampak signifikan bagi sang anak saat memasuki dunia kerja, saat menjadi pemimpin," sambung Corina.
Sementara itu, orang tua yang memperlakukan anak perempuannya tidak sepenting anak laki-laki atau sebagai warga kelas dua (second-class citizen) membuat anak perempuannya kelak menerima posisi kepemimpinan karena kewajiban alih-alih kemauan.
"Ini membuat sang anak perempuan tidak memiliki kekuatan keyakinan dalam dirinya. Jadi ketika ia menghadapi tantangan besar, mereka terbatas dalam mengatasinya," jelas Corina.
"Ini sangat berbeda dengan anak-anak perempuan yang dipercaya orang tuanya. Mereka yang merasa dirinya setara dengan saudara laki-lakinya. Riset pada bidan ini menunjukkan pentingnya membangun pemimpin sejak dini," tuturnya.
Perempuan Engineer Tak Banyak Alami Konflik Identitas?
Ia menambahkan, studi Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur (KIAT), Women's Leadership in Infrastructure Sector menunjukkan engineer perempuan tidak memiliki konflik identitas seperti halnya yang dialami perempuan non-engineer.
Corina menjelaskan, jika melihat identitas pemimpin sebagai faktor pendorong perempuan untuk bertumbuh, mencari peran, dan berkembang, konflik identitas umumnya menarik perempuan dan membuatnya merasa bersalah saat mengalokasikan waktu dan tenaga untuk menjadi pemimpin.Ini tidak banyak terjadi pada perempuan engineer.
"Jadi lazimnya perempuan RI tidak merasa identitasnya sebagai perempuan dan identitasnya sebagai pemimpin bersinergi, mereka merasa conflicting. Namun menariknya, bagi perempuan engineer, kami tidak banyak melihat konflik identitas ini," tuturnya.
"Kami mendapati perempuan engineer RI punya kepercayaan diri bahwa mereka punya hak dan tanggung jawab sebagai engineer, menjadi pemimpin di organisasi," sambungnya.
Perempuan Engineer: Cindy Rianti Priadi
Dukungan orang tua inilah yang dirasakan Associate Professor Cindy Rianti Priadi dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) Universitas Indonesia.
Cindy menuturkan, ia semula tertarik dengan lingkungan di kelas 4 SD saat mulai menonton kisah superhero laki-laki dan perempuan Captain Planet yang menyelamatkan Bumi.
Sekolah dan rumah kemudian baginya menjadi enabler besar yang mendukungnya studi STEM di bidang lingkungan. Ia menuturkan, orang tuanya, termasuk ayahnya yang juga engineer, menjadi faktor pendukung terbesarnya untuk menekuni bidang teknik lingkungan di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dukungan Suami
Cindy kelak lanjut S2 teknik lingkungan dengan spesialisasi air di Universite Paris 7 Diderot - Universite Pierre et marie Curie Paris 6 - Ecole Nationale des Ponts et Chaussees. Ia juga meneruskan studi S3 di Laboratoire des Sciences et de L'Environment (LSCE) dan meraih gelar dari Universite Paris 11 pada 2010.
"Dan ketika saya pergi untuk visiting scholar 3 bulan di Amerika Serikat, suami saya datang dan menjaga anak-anak kami. Ia mengambil cuti kerja. Ketika saya mendapat hibah National Geographic yang menyediakan dana caretaking, suami saya juga yang datang ke Wakatobi dan selama 2 minggu menjaga bayi kami. Ia big enabler," tuturnya.
Dukungan Mentor & Rekan Kerja Laki-Laki
Dukungan sistemik dari mentor dan rekan-rekan kerja laki-laki sepanjang karier menurutnya juga membantunya untuk mengembangkan diri sebagai engineer.
"Jadi saya rasa, dimulai dari rumah, lalu berkembang keluar, menjadi solusinya," tuturnya. "Harus datang dari rumah."
(twu/faz)