Indonesia berisiko mengalami kerugian Rp 110 triliun jika abai mengelola pesisir laut dan pulau-pulau kecil berbasis risiko. 25 Persen anggaran negara bisa habis untuk mengurus bencana perubahan iklim jika pembangunan pengelolaan sumber daya pesisir pulau-pulau kecil tersebut tidak mempertimbangkan risiko.
Peringatan tersebut disampaikan Pakar IPB University bidang Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Prof Yonvitner dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar, dikutip Selasa (30/1/2024).
"Risiko tersebut misalnya kerusakan terumbu karang yang mencapai 40-80 persen, meningkatnya jumlah kepunahan spesies, kerusakan ekosistem mangrove sekitar 27 persen," papar Prof Yonvitner tentang potensi dampak risiko pesisir dan lautan akibat perubahan iklim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Meningkatnya muka air laut, penurunan persediaan air, perubahan biodiversitas ikan dan sebagainya," sambung Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University tersebut.
Desain Pembangunan Pesisir-Pulau Berbasis Risiko
Yonvitner menekankan pada calon presiden (capres) terpilih ke depan agar dapat berkomitmen kuat dan merancang desain pembangunan pesisir, laut, pulau-pulau kecil, hingga dan perikanan dengan menimbang baik-baik risiko mainstream-nya.
"Seharusnya ketiga capres bisa juga menyentuh jiwa ekosistem yang rusak, illegal fishing maupun kerusakan pulau kecil akibat invests tambang," ucapnya.
Ia menjelaskan, kebijakan dalam pembangunan berisiko saat ini baru fokus pada risiko dari aktivitas industri. Sedangkan risiko terhadap ekosistem dan lingkungan berbasis ruang (spasial) belum dapat perhatian cukup.
"Masih adanya sampai plastik, kerusakan karang akibat iklim, banjir rob di kawasan pantai serta subsidence," jelasnya.
Ia menambahkan, terdapat 6 undang-undang (UU) dan 11 Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur kebijakan terkait pembangunan berisiko. Namun menurutnya implementasi kebijakan pembangunan berisiko belum komprehensif.
Berdasarkan studinya, Yonvitner menawarkan sistem kendali yang meliputi kebijakan, ruang, teknologi, dan manajemen. Sistem kendali menurutnya memastikan risiko tidak liar atau tidak menambah kerugian.
"Risiko selama ini hanya dianggap masalah, padahal risiko menjadi sebuah sistem dan transdisiplin ilmu. Untuk itu keberadaannya membutuhkan sebuah pengakuan dari semua komponen untuk berintegrasi dalam ranah pembangunan," pungkasnya.
(twu/pal)