Pakar Unair: Anak Muda Enggan Jadi Petani sejak 1830-an karena Model Pendidikan

ADVERTISEMENT

Pakar Unair: Anak Muda Enggan Jadi Petani sejak 1830-an karena Model Pendidikan

Novia Aisyah - detikEdu
Jumat, 26 Jan 2024 13:30 WIB
Petani muda mengemas daun tanaman mint (spearta mentha spicata) usai dipanen di kebun Amatta Farm, Desa Purwadana, Telukjambe Timur, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (22/5/2021). Pembudidayaan tanaman mint di kebun tersebut dapat menghasilkan 50 kilogram daun tanaman mint per bulan dan dijual dengan harga Rp9 ribu per 50 gram untuk memenuhi kebutuhan pasar swalayan modern, kafe dan restoran serta masyarakat. ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/foc.
Budi daya tanaman mint. Foto: ANTARA FOTO/Muhamad Ibnu Chazar
Jakarta - Pangan menjadi salah satu topik dalam debat pilpres keempat. Terkait hal ini, Indonesia menghadapi permasalahan profesi petani yang jarang dijamah generasi muda.

Meski demikian, pakar Antropologi Universitas Airlangga (UNAIR), Yusuf Ernawan mengatakan permasalahan hilangnya minat generasi muda untuk menjadi petani sudah terjadi sejak lama. Menurutnya hal ini dikarenakan model pendidikan saat ini bersifat modern teknis yang tidak berkaitan langsung dengan pertanian.

"Permasalahan terkait hilangnya minat generasi muda Indonesia untuk berprofesi sebagai petani memang sudah terjadi sejak lama. Ya, karena model pendidikan saat ini sifatnya modern teknis yang tidak berhubungan secara langsung dengan pertanian," kata Yusuf, dikutip dari rilis situs Unair pada Jumat (26/1/2024).

Yusuf menerangkan permasalahan ini sudah terjadi sejak 1830-an sampai sekarang. Hal ini juga sudah pernah dijelaskan oleh Clifford Geertz dalam teori involusi, yakni ketertarikan orang desa terhadap kawasannya menurun setelah munculnya perkotaan dan model-model pendidikan yang bersifat modern teknis.

"Permasalahan terkait mengurangi dan mencegah adanya migrasi yang arahnya juga menimbulkan permasalahan ketahanan pangan. Instansi pendidikan dan pemerintahan sudah melakukan banyak penanggulangan preventif, seperti KKN, pengabdian, sosialisasi, dan lain sebagainnya," bebernya.

Saran buat Pemerintah

Yusuf memaparkan, orientasi masa kini telah berbeda. Para sarjana atau elite yang tinggal di kota dan bekerja di bidang jasa apabila dipaksakan pulang ke desa, akan kesulitan menerapkan keterampilan karena memang tidak sejalan. Di samping itu ada tingkat kreativitas berbeda dari setiap individu dalam bertahan.

Menurut Yusuf, untuk membantu masalah ketahanan pangan dari sisi antropologi, dapat dengan cara memosisikan sebagai masyarakat yang mengalaminya.

Jika menempatkan diri sebagai masyarakat kota yang bekerja di kota, maka pemerintah bisa membuat sejumlah program seperti desa budidaya, desa hijau, dan gardening house yang memanfaatkan atap rumah.

"Dulu di Rungkut, pada jamannya bu Risma. Penduduk desa setempat sering sekali melakukan penanaman cabai, tomat, kangkung. Melalui pot-pot sepanjang jalan gang-gang. Nah itu kan bisa menanggulangi perekonomian ketahanan pangan," ujar Yusuf.

Dia mengatakan, pada era 80-an cabai masih belum menjadi indikator inflasi. Sedangkan saat ini cabai menjadi indikator inflasi lantaran menjadi kebutuhan pokok dan harganya mengalami kenaikan tinggi. Penanaman cabai di pot maka akan membantu ketahanan pangan kota.

Yusuf menyebut, Surabaya sudah memanfaatkan bekas tanah kas desa (BTKD) bersama dengan masyarakat desa untuk menanam kebutuhan pokok seperti jagung, singkong, dan usaha-usaha lain yang dapat membantu perekonomian dan ketahanan pangan kota.

Sementara untuk masyarakat desa perlu memperoleh sosialisasi penggunaan teknologi pertanian, diberi teknologi pertanian, dan mendapatkan subsidi pupuk. Seperti di Jepang dan Australia, pertanian hanya membutuhkan satu orang saja dengan menggunakan berbagai alat canggih pertanian. Hal semacam ini juga dinilai lebih efisien.


(nah/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads