Studi: Cinta Tinggalkan Jejak di Otak, Bisakah Terhapus?

ADVERTISEMENT

Studi: Cinta Tinggalkan Jejak di Otak, Bisakah Terhapus?

Trisna Wulandari - detikEdu
Sabtu, 20 Jan 2024 17:00 WIB
Ilustrasi lambang cinta atau jantung
Cinta meninggalkan jejak semacam sidik jari di otak. Studi mengungkap, ada cara untuk membuat dan menghapus jejaknya. Foto: Getty Images/Eoneren
Jakarta -

Dopamin di dalam tubuh berperan penting menjaga cinta tetap hidup. Banjir dopamin membuat seseorang rela bermacet-macet di jalan untuk makan malam dengan pasangan. Hormon ini juga membantu pasangan menjaga rasa di hati tetap menyala.

Di sisi lain, ketiadaan dopamin dalam waktu lama dapat membuat rasa tersebut berkurang. Saat melihat pasangan, rasanya bisa jadi tidak jauh berbeda dengan melihat orang asing.

Kondisi tersebut dapat membantu orang-orang yang ingin move on dari patah hati, pasangan yang meninggal, atau bagi yang kesulitan membangun relasi sosial untuk bisa memulai kembali sebuah hubungan. Temuan ini dipublikasi Anne F Pierce dan rekan-rekan di jurnal Current Biology.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana cinta bisa hidup di otak dan bagaimana cinta bisa terhapus?

Banjir Dopamin yang Memotivasi

Dopamin adalah neurotransmitter dan hormon yang memengaruhi di bidang motivasi, kepuasan, fokus, dan kewaspadaan. Neurotransmitter adalah zat kimia yang memungkinkan neuron (sel saraf pembawa pesan ke seluruh tubuh) untuk berkomunikasi satu sama lain.

ADVERTISEMENT

Dopamin merupakan hormon yang juga bertanggung jawab atas keinginan pada makanan manis, nikotin, dan kokain. Ketidakseimbangan hormon tersebut di tubuh bisa mengakibatkan adiksi dan gangguan mental.

Saat naik kendaraan untuk menemui kekasih, manusia dapat mengalami banjir dopamin, yang lazim masuk ke pusat reward di otak. Kondisi ini memotivasi seseorang rela terkena kemacetan demi menjaga cinta tetap hidup.

Sebaliknya, dopamin tidak membanjiri otak jika yang harus ditemui hanya seorang rekan biasa.

Jejak-jejak cinta dari banjir dopamin tersebut tercatat dalam rekaman saraf oleh peneliti.

"Kami menemukan tanda biologis dari hasrat yang bantu menjelaskan mengapa kita lebih ingin bersama beberapa orang daripada orang lain," kata Zoe Donaldson, peneliti dan dosen ilmu saraf perilaku di University of Colorado Boulder, Amerika Serikat, dikutip dari laman resminya.

Studi mengungkapkan orang-orang tertentu meninggalkan jejak kimiawi unik di otak orang lain. Jejak tersebut mendorongnya untuk mempertahankan ikatan tersebut seiring waktu.

"Sebagai manusia, seluruh dunia sosial kita pada dasarnya ditentukan oleh tingkat keinginan selektif yang berbeda-beda untuk berinteraksi dengan orang yang berbeda, baik itu pasangan romantis atau teman dekat Anda," jelas Donaldson.

"Penelitian ini menunjukkan orang-orang tertentu meninggalkan jejak kimiawi unik di otak kita yang mendorong kita untuk mempertahankan ikatan tersebut seiring waktu," imbuhnya.

Cinta Menerangi Otak dan Memberi Jejak

Donaldson mencoba mengetahui apa yang terjadi di dalam otak manusia sehingga dapat terjadi hubungan intim. Lebih lanjut, apa yang bisa dilakukan secara neurokimia jika ikatan cinta itu terputus .

Untuk mengetahuinya, peneliti melakukan sejumlah tes pada tikus padang rumput. Hewan pengerat ini salah satu dari 3-5% saja mamalia yang membentuk ikatan pasangan monogami.

Tikus padang rumput punya kecenderungan berpasangan dalam jangka panjang, berbagi rumah dan membesarkan anak bersama. Mirip manusia, tikus ini juga mengalami sesuatu yang mirip dengan kesedihan saat kehilangan pasangan.

Untuk mencari tahu jejak cinta di otak mamalia monogami, Donaldson dan rekan-rekannya mengecek otak tikus padang rumput dengan teknologi neuroimaging real-time.

Rupanya, untuk bertemu pasangannya, tikus tersebut mau bersusah-payah menekan tuas untuk membuka pintu ruangan tempat pasangannya berada dan memanjat pagar.

Sensor serat optik kecil juga dipakai untuk melacak aktivitas nucleus accumbens hewan tiap milidetik. Nucleus accumbens adalah wilayah otak yang bertanggung jawab memotivasi manusia untuk mencari hal-hal yang terasa rewarding, mulai dari air, makanan, hingga penyalahgunaan obat-obatan.

Pada manusia, neuroimaging mendapati nucleus accumbens menyala ketika seseorang memegang tangan pasangannya.

"Rupanya, setiap kali sensor mendeteksi lonjakan dopamin, sensor tersebut menyala seperti tongkat pijar," kata Anne Pierce, penulis pertama yang mengerjakan proyek ini sebagai mahasiswa pascasarjana di laboratorium Donaldson.

Pierce menjelaskan, ketika tikus-tikus tersebut menekan tuas atau memanjat dinding untuk melihat pasangan hidup mereka, serat otak tersebut menyala seperti pesta rave. Cahaya terang itu lanjut menyala saat pasangan tikus saling berpelukan dan mengendus.

Menghapus Jejak Cinta dan Move On

Sebaliknya, ketika tikus random berada di sisi lain pintu atau dinding, tongkat cahaya meredup. Sedangkan saat dopamin kurang, pasangan tikus juga tidak berusaha keras untuk bersatu kembali.

"Ini menunjukkan bahwa dopamin tidak hanya penting untuk memotivasi kita mencari pasangan, tapi sebenarnya ada lebih banyak dopamin yang mengalir melalui pusat reward saat kita bersama pasangan dibandingkan saat kita bersama orang asing," kata Pierce.

Soal dopamin yang berkurang, pasangan tikus dipisahkan selama 4 minggu. Durasi 4 minggu setara dengan bertahun-tahun dalam kehidupan hewan pengerat, waktu yang cukup lama bagi tikus alam liar untuk menemukan pasangan lain.

Peneliti mendapati, ketika pasangan itu dipersatukan lagi, mereka teringat satu sama lain, tetapi lonjakan dopaminnya hampir lenyap. 'Sidik jari' hasrat di otak mereka sudah hilang.

Di kepalanya, melihat mantan pasangan mereka tidak berbeda dengan melihat tikus random.

Menurut peneliti, kondisi ini bisa menjadi kabar baik bagi manusia yang baru saja mengalami perpisahan menyakitkan atau bahkan kehilangan pasangan. Sebab, kondisi ini menunjukkan otak memiliki mekanisme bawaan untuk melindungi makhluk hidup dari cinta tak berbalas yang tak berkesudahan.

"Kami menganggap ini sebagai semacam penyetelan ulang di dalam otak yang memungkinkan hewan tersebut melanjutkan hidup dan berpotensi membentuk ikatan baru," kata Donaldson.

Peneliti percaya, studi ini dapat dimanfaatkan bagi orang-orang yang berjuang melupakan rasa kehilangan, yakni kondisi gangguan kesedihan berkepanjangan.

Harapannya, orang-orang yang kesulitan membangun hubungan lagi dapat terbantu.

"Harapannya adalah dengan memahami seperti apa ikatan yang sehat di dalam otak, kita dapat mulai mengidentifikasi terapi baru untuk membantu banyak orang dengan gangguan mental yang mempengaruhi dunia sosial mereka," kata Donaldson.




(twu/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads